
MAKLUMAT — Anggota Komisi VI DPR RI, Abdul Hakim Bafagih, menyoroti dugaan alih fungsi lahan sebagai salah satu penyebab banjir bandang di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero) dan PTPN I, Rabu (19/3/2025), ia menegaskan perlunya evaluasi mendalam terkait persoalan ini.
“Banjir di Puncak yang mengakibatkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur adalah dampak dari kebijakan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Salah satu pemicunya adalah perubahan peruntukan lahan yang dikelola PTPN 8, yang kini menjadi bagian dari Regional 2 PTPN 1,” ujar Abdul Hakim dalam keterangan resminya.
Menurutnya, ada indikasi keterlibatan berbagai pihak dalam proses alih fungsi lahan tersebut. Ia menekankan bahwa PTPN seharusnya berfokus pada pengelolaan komoditas perkebunan seperti teh, kopi, dan karet, bukan mencari keuntungan instan melalui perubahan peruntukan lahan.
“Saya tidak percaya teh, kopi, dan karet tidak memiliki pasar. Ini bukan soal permintaan, melainkan ada pihak yang ingin mencari keuntungan cepat dengan mengubah fungsi lahan. Jangan jadikan PTPN sebagai alat spekulasi tanah,” tegasnya.
Keterlibatan Pemkab Bogor
Abdul Hakim juga menyoroti keterlibatan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam proses perizinan alih fungsi lahan. Ia meminta semua pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab dan transparan dalam mengungkap siapa saja yang terlibat dalam perubahan peruntukan lahan ini.
“PTPN harus memastikan pengelolaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 yang mengatur integrasi dan diversifikasi perkebunan. Jangan sampai kebijakan ini malah merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Abdul Hakim mendesak PTPN untuk melakukan evaluasi dan mitigasi terhadap seluruh lahan yang mereka kelola guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
“Perlu ada langkah konkret untuk menertibkan praktik ini. Jangan biarkan ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi dan memperburuk kondisi lingkungan. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola perkebunan negara,” pungkasnya.***