MAKLUMAT – Dalam lima tahun terakhir, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terus mengerek anggarannya. Sebagian besar dana itu justru diarahkan untuk membeli alat pengendali massa. Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat, dari 2021 hingga 2025, belanja Polri untuk keperluan represif ini mencapai Rp 2,6 triliun.
Belanja itu mencakup tongkat baton senilai Rp 1 triliun, gas air mata dan pelontarnya senilai Rp 1,1 triliun, hingga peluru karet sebesar Rp 49,9 miliar. Selain itu, Polri juga menggelontorkan Rp 95 miliar untuk perlengkapan antianarkis, Rp 200 miliar untuk kendaraan taktis penghalau massa, serta Rp 60 miliar untuk amunisi huru-hara.
Ironisnya, belanja jumbo ini berlangsung di tengah maraknya tindakan represif polisi. Salah satunya, kendaraan taktis Brimob melindas pengemudi ojek online Affan Kurniawan hingga tewas di lokasi, saat pembubaran aksi buruh di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025).
Kementerian Keuangan mencatat anggaran Polri melonjak 42 persen dalam lima tahun, dari Rp 102,2 triliun pada 2021 menjadi Rp 145,6 triliun dalam RAPBN 2026. Polri kini menjadi penerima anggaran terbesar ketiga setelah Kementerian Pertahanan dan Badan Gizi Nasional.
Rinciannya, Rp 114,2 triliun (2022), Rp 119,8 triliun (2023), Rp 136,5 triliun (2024), Rp 126,6 triliun (APBN 2025), lalu melonjak lagi Rp 145,6 triliun (RAPBN 2026). Dari alokasi itu, Rp 58,1 triliun diarahkan untuk modernisasi alat material khusus (almatsus) dan sarana-prasarana. Anggaran pengendali massa jelas masuk di dalamnya.
Peneliti FITRA, Gurnadi Ridwan menegaskan negara salah arah dalam mengutamakan belanja represif. “Instrumen itu berulang kali dipakai untuk membubarkan aksi warga dengan kekerasan. Padahal, demokrasi tidak bisa tumbuh dalam suasana ketakutan,” ujar Gurnadi dalam siaran pers, Kamis (11/9)
FITRA mendesak evaluasi menyeluruh atas kebijakan penggunaan alat represif, dan mendorong reorientasi anggaran ke pelayanan publik. Menurut Gurnadi, negara seharusnya mengutamakan pendekatan humanis, dialogis, dan persuasif, bukan gas air mata dan peluru karet.
Sebelumnya diinformasikan, Polri juga meminta tambahan Rp 46,8 triliun pada 2026. Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran, Komjen Wahyu Hadiningrat, menyebut tambahan itu untuk mendukung rencana kerja.
Namun Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai langkah itu tidak sejalan dengan semangat efisiensi pemerintah. “Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk pendidikan atau bantuan sosial. Transparansi penggunaan anggaran Polri minim,” katanya.
Menurut Achmad, anggaran besar yang tak terarah hanya memperbesar potensi penyimpangan dan memperparah ketidakpercayaan publik. Tragedi tewasnya Affan, kata dia, seharusnya jadi momentum evaluasi total Polri.