Bahaya Highway Hypnosis dan Microsleep, Jangan Remehkan Kantuk

Bahaya Highway Hypnosis dan Microsleep, Jangan Remehkan Kantuk

MAKLUMAT – Menjelang libur panjang sekolah, lalu lintas jalan tol biasanya penuh dengan kendaraan pribadi para pemudik. Mereka menempuh ratusan kilometer perjalanan demi pulang kampung atau sekadar liburan bersama keluarga.

Tapi, ada ancaman tersembunyi yang kerap tak disadari di balik kemudi: highway hypnosis dan microsleep, dua kondisi neurologis yang bisa berujung pada kecelakaan fatal.

“Highway hypnosis adalah keadaan di mana pengemudi secara tidak sadar mengemudi dalam mode ‘auto-pilot’, terutama saat perjalanan jauh yang monoton,” tulis dr. Paulina Thiomas Ulita, Sp.N, dokter spesialis saraf, dari RS Mayapada Hospital.

Fenomena ini terjadi ketika otak mengalami kebosanan dan kelelahan, lalu beralih dari kondisi waspada penuh ke semacam trance ringan.

Situasi ini biasanya terjadi di jalan tol yang panjang, lurus, dan bebas hambatan. Dalam kondisi ini, pengemudi bisa tiba di suatu titik tanpa benar-benar mengingat bagaimana sampai di sana. “Kesadaran berkurang, tapi tubuh tetap menjalankan aktivitas, mengemudi,” tambah Paulina.

Tak jauh berbeda, microsleep adalah kondisi ketika otak “tidur” dalam waktu sangat singkat, hanya beberapa detik. Dalam dunia mengemudi, beberapa detik bisa berarti hidup dan mati.

“Microsleep biasanya terjadi karena kantuk berat yang tak tertahankan. Bisa berlangsung 1 sampai 10 detik, dan yang berbahaya adalah penderitanya tidak menyadari bahwa dia sempat tertidur,” imbuh Paulina.

Kedua kondisi ini seringkali memicu kecelakaan karena membuat pengendara kehilangan kesadaran akan situasi jalan. Saat highway hypnosis atau microsleep terjadi, pengemudi bisa terlambat menginjak rem saat kendaraan di depan berhenti mendadak. Mereka juga bisa keluar jalur, atau tak menyadari adanya rambu peringatan atau jalan berlubang.

Baca Juga  Surabaya Resmi Bergabung dalam Jaringan Kota Sehat WHO SEARO

Waspadai Tanda-Tandanya

Masalahnya, baik highway hypnosis maupun microsleep tidak selalu muncul tiba-tiba. Sebetulnya pengemudi bisa mengenali beberapa tanda-tanda gejala keduanya. Gejala umumnya meliputi:

  • Pikiran melayang dan tidak fokus terhadap jalan.
  • Kepala terkantuk-kantuk (nodding).
  • Mata sering berkedip atau terasa berat.
  • Tubuh terasa lemas dan rileks berlebihan.
  • Menguap terus menerus dan tidak bisa menahan rasa kantuk.
  • Tidak menyadari apa yang terjadi selama beberapa menit terakhir.

“Kalau sudah muncul gejala seperti itu, artinya otak sudah mulai lelah dan masuk fase risiko,” jelasnya. Dalam situasi ini, idealnya pengemudi harus segera menepi dan beristirahat. Tapi, bagaimana jika tidak memungkinkan?

Mengatasi dengan Strategi Sementara

Dalam catatan Paulina, ada beberapa cara darurat yang bisa menunda kantuk jika tidak bisa langsung berhenti. Beberapa di antaranya:

  • Mengunyah permen untuk merangsang kerja otot dan menjaga kewaspadaan.
  • Minum air putih atau kopi untuk menstimulasi otak tetap aktif.
  • Mengajak teman seperjalanan berbincang, agar otak tetap aktif memproses komunikasi.
  • Memutar musik berirama cepat agar suasana kabin lebih hidup

Namun, semua itu hanya solusi sementara. Yang paling ideal tetaplah istirahat. Tidur cukup sebelum bepergian itu mutlak. Ia menyarankan agar pengemudi tidur malam minimal 6–8 jam sebelum perjalanan jauh.

Antisipasi, Bukan Reaksi

Selain itu, perencanaan perjalanan juga penting. Hindari menyetir di jam-jam rawan kantuk seperti malam hari atau setelah makan berat. Bagi perjalanan menjadi beberapa segmen dengan jeda istirahat setiap 2–3 jam, dan manfaatkan area istirahat atau rest area untuk melemaskan otot dan menyegarkan pikiran.

Baca Juga  Mendikdasmen Abdul Mu'ti Ungkap 3 Opsi Libur Sekolah Saat Ramadan, Keputusan Tunggu Kepulangan Menag

Microsleep dan highway hypnosis tidak bisa dianggap remeh. Meski tak sepopuler bahaya rem blong atau ban pecah, dua kondisi ini diam-diam menempati posisi penting dalam statistik kecelakaan di jalan.

“Kesadaran terhadap bahaya neurologis seperti ini masih rendah,” tutup Paulina. Sebetulnya, mencegah kecelakaan bukan dengan kondisi kendaraan yang prima, tapi juga tubuh dan otak pengemudi yang bugar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *