BADAN Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyelesaikan penyusunan draf revisi Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Semua fraksi sepakat menghapus batasan jumlah kementerian paling banyak 34 yang sebelumnya diatur dalam UU tersebut.
Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI dengan agenda Pengambilan Keputusan Atas Hasil Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Selanjutnya, Baleg DPR RI akan mengesahkan kesepakatan RUU Kementerian Negara itu sebagai RUU inisiatif DPR melalui rapat paripurna terdekat.
Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas mengaku bersyukur sembilan fraksi di Baleg DPR RI menyetujui draf revisi UU Kementerian, yang salah satu pasalnya terkait pembatasan jumlah kementerian sebanyak 34 dihapus. Menurut dia, aturan terkait jumlah kementerian direvisi dalam rangka memperkuat sistem presidensial yang dianut negara Indonesia.
“Semua menghargai perubahan ini dalam rangka memperkuat sistem presidensial, bahwa siapa pun presidennya tidak boleh dikunci terkait dengan angka menyangkut soal jumlah kementerian ataupun nomenklatur kementeriannya. Sehingga, kita berharap efektivitas pemerintahan bisa berjalan dan itu dipikirkan sesuai dengan visi-misi presiden, khususnya presiden terpilih,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) menjelaskan, UU Kementerian Negara direvisi untuk mengatur kedudukan, tugas, fungsi dan organisasi kementerian secara tegas dan jelas sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta memenuhi kebutuhan presiden dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, demokratis dan efektif.
“Salah satu ketentuan yang diusulkan (untuk) diubah adalah Pasal 15 UU Kementerian Negara, yang sebelumnya mengatur kementerian dibatasi maksimal 34. Baleg mengusulkan jumlah kementerian ditetapkan sesuai kebutuhan presiden dengan memerhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,” jelasnya.
Selain itu, penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang mengatur tentang pengangkatan Wakil Menteri juga dihapus, agar sesuai dengan putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011 yang membatalkan penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara, yang menyatakan Wakil Menteri adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet.
Awiek juga menerangkan, ketentuan lain yang juga disepakati adalah penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan UU.
Meski begitu, Awiek mengatakan, sejumlah fraksi memberikan catatan terkait kesepakatan terhadap revisi UU Kementerian Negara tersebut. Antara lain dari Fraksi PDIP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Demokrat, serta Fraksi Partai Gerindra.
“Seluruh catatan akan dibahas saat pembahasan RUU Kementerian Negara dengan pemerintah,” tandas politisi PPP itu.
Eisiensi, Efektivitas, dan Beban Anggaran
Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PDIP, Putra Nababan mewanti-wanti agar hilangnya batas jumlah kementerian harus betul-betul memerhatikan soal efektivitas, efisiensi dan tata kelola pemerintahan. Sebab, menurut dia, sumberdaya negara terbatas sehingga perlu pengaturan yang efisien agar tidak membebani anggaran dan keuangan negara.
Putra juga mengingatkan soal kapasitas fiskal belanja pemerintah pusat yang harus dialokasikan lebih dominan kepada rakyat ketimbang birokrasi. Sejauh ini, kata dia, 50 persen alokasi belanja cenderung untuk memenuhi keperluan birokrasi.
“Mengingat negara memiliki sumber daya terbatas, perubahan jumlah kementerian harus diatu seefisien mungkin agar tidak membebani keuangan negara,” katanya.
Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso juga mengingatkan soal pentingnya efisiensi, selain efektivitas yang disebutkan dalam Pasal 15 UU Kementerian Negara. Dia menegaskan, adanya perubahan juga tetap membutuhkan pertimbangan serta kajian yang matang dan komprehensif.
“Presiden memang perlu fleksibilitas untuk menentukan kabinetnya, tapi perlu didasarkan analisis yang komprehensif. Perubahan harus bisa memastikan setiap kementerian punya tanggung jawab jelas dan tidak (saling) tumpang tindih fungsi dan (mengakibatkan) gangguan kepada pelayanan publik,” pesannya.
Senada, Al-Muzzammil Yusuf dari Fraksi PKS juga menyebut efisiensi dan efektivitas sebagai aspek yang saling terkait dan tidak terpisahkan dalam pemerintahan. Sebab itu, dalam pembentukan kabinet tentu harus betul-betul memerhatikan pertimbangan aspek tersebut.
Sementara itu, Ketua Kelompok Fraksi Partai Gerindra di Baleg DPR RI, Heri Gunawan meminta agar frasa efektivitas dan efisiensi dijelaskan lebih detail dalam ayat baru di UU Kementerian Negara.
Hal itu, kata dia, sebab setiap presiden memiliki visi, misi, serta tantangan-tantangan yang berbeda, sehingga diperlukan fleksibilitas bagi presiden untuk menentukan nomenklatur serta susunan kementeriannya.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto