
MAKLUMAT –Penghematan. Penghematan. Penghematan. Bahasa kerennya efisiensi. Diksi itu kini menjadi topik utama di dunia birokrasi kita.
Gara-gara Inpres Presiden Prabowo No 1 Tahun 2025 tertanggal 22 Januari 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Yang monumental ada 16 pos belanja yang dikepras dari besaran 16 persen sampai 90 persen dari pagu awal. Wow !.

Inpres pertama di tahun ini yang bikin pejabat pusing tujuh keliling. Para menteri lalu bicaranya tampak watak aslinya. Ada yang merespons dengan rasional dan faktual. Ada yang menanggapi dengan emosional dan teatrikal.
Dan pasti banyak yang salah kaprah : katanya pelayanan publik akan terancam, pos gaji pegawai cukup untuk satu semester, pegawai cukup ngantor 2 hari sepekan, dan lebih seram lagi ; pemerintahan akan berjalan tidak efektif alias ada ketidakpastian. Para mahasiswa yang demo kemarin agaknya termakan provokasi ini.
Rupanya kebijakan penghematan alias ajakan ber-“puasa” bagi dunia birokrasi kita bagaikan gempa bumi 8 skala Richter. Akibat sudah terlalu lama hidup penuh kenikmatan dan penuh kelebihan. Bekerja di zona supernyaman. Ada paradigma yang sangat aneh dan ‘gila’. Pejabat yang tidak bisa menghabiskan anggaran dianggap tidak becus. Dan bukan rahasia lagi pejabat paling gemar mencari cash back dari pengeluaran. Bahkan, tak sedikit mereka jadi pesakitan KPK karena kongkalikong dengan pengusaha.
Modal Politik Kepuasan Publik
Sisi lain kita baru saja menyaksikan bagaimana kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dalam 100 hari. Ukuran ini hanyalah menjadi semacam konvensi tak tertulis di dunia penyelenggaraan pemerintahan di dunia. Punya prospek baik atau buruk. Punya peluang menyelesaikan problem mayoritas rakyat atau sebaliknya. Cukup diukur dari persepsi masyarakat. Sangat simplistis dan miopis. Tapi, itulah persepsi publik yang tidak mudah diabaikan.
Untungnya, versi Litbang Kompas Indeks Kepuasan Publik teradap kinerja Prabowo menyentuh hingga 80,9 persen. Tertinggi dalam sejarah pemerintah Indonesia. Modal politik ini yang barangkali menjadikan Rapimnas Gerindra berubah menjadi Kongres Luar Biasa di Hambalang, Kamis (13/2/2025). Saat mana partai juga mencalonkan kembali Prabowo untuk maju kembali di tahun 2029 kelak. Jangka waktu yang masih amat panjang. Negatifnya, Prabowo bisa dibilang nggege mongso atau ambisius. Positifnya, memperkecil spekulasi politik yang liar dan tak menentu.
Dengan modal politik itu pula tampaknya Prabowo makin yakin dengan kebijakan kontroversialnya untuk berhemat anggaran. Betapapun banyak demo yang mengusung tuntutan boncengan seperti #Indonesia Gelap atau #Kabur Aja Dulu. Paling gres tentu kebijakan ini telah memakan korban Menteri Diktisaintek Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro yang digantikan Prof Brian Yuliarto, Rabu (19/2/2025).
Satryo oleh banyak pihak dianggap telah teledor dalam mengambil kebijakan mutasi pegawainya dengan alasan efisiensi anggaran hingga didemo pegawainya sendiri. Ia juga salah dalam menafsirkan anggaran untuk KIP Kuliah yang konon telah dipangkas Rp 1,4 triliun. Ia juga menyebut ada potensi kenaikan UKT Mahasiswa tahun ini. Menkeu bahkan sempat meluruskannya dua hari kemudian setelah Satryo bertemu dengan Komisi X DPR RI.
Raja Kecil dan Kebal Hukum
Akankah good will presiden ini akan berjalan sebagaimana yang diharapkan ? Justru inilah yang banyak pihak mencemaskan. Alih-alih birokrasi menyesuaikan diri dengan kehendak besar presiden yang menginginkan anggaran tepat sasaran dan penghematan, mereka yang oleh presiden sendiri disebut raka-raja kecil dan yang merasa kebal hukum akan berusaha sekuat tenaga membuat gaduh dan gangguan. Karena dengan pemangkasan ini meraka dipaksa untuk “puasa”, sehingga tidak bisa maling atau minimal berfoya-foya,
Birokrasi yang ideal adalah birokrasi modern yang seperti digambarkan Max Weber dicirikan dengan impersonal, rasional, kompeten, dan menghindari keberpihakan pada kelompok tertentu alias netral. Ini yang agaknya paling sulit melihat birokrasi yang digambarkan sebagai red tape government. Para investor asing terkenal kerap mengejek birokrasi kita dengan ungkapan , “You can buy everything, including law and regulation.” Memalukan, bukan ?
Jika kita anut konsep clean government and good governance sebagaimana definisi UNDP yang saya yakin semua birokrat hapal, antara lain ditandai dengan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Sebagai muslim kita juga diajarkan untuk senantiasa bersikap tidak boros (QS Al Isra’ : 26-27) dan tidak berlebihan (QS Al A’raf : 31).
Namun, sekali lagi semua itu terkadang kalah dengan nafsu serakah yang menjadi sumber dari malapetaka birokrasi foya-foya. Akhirnya, negara dan rakyat menderita. Indeks korupsi makin memburuk akibat nyaris setiap bulan ada pejabat dan pengusaha terkena OTT KPK. Mulai Ramadan ini mari kita semua berkaca!
*) Pemred MATAN dan Wakil Ketua MPID PWM Jatim