MAKLUMAT — Konon Nabi Ayub pernah mengungkap metafora “Manusia melekatkan tangannya pada batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-akarnya”. Metafora tentang ketamakan dan kerakusan manusia yang dikaitkan langsung dengan ‘keganasan’ manusia menambang bumi.
Maka penambangan (yang merusak) adalah simbol kerakusan, juga simbol zoon politicon (bahasa Yunani) atau political animal (bahasa Inggris) bermakna manusia kekuasaan, bersama simbol homo economicus (manusia ekonomi) yang tamak dan ganas.
Katanya 85 Juta Hektare
Luasan kawasan tambang di Indonesia cukup luas. Namun tidak ada informasi spesifik tentang luasan kawasan tambang galian A dan B yang sudah dieksploitasi. Galian A (strategis) meliputi minyak bumi, gas alam, batubara, nikel, timah, uranium, dll. Galian B (vital) meliputi besi, bauksit, mangan, tembaga, emas, perak, platina, intan, dll.
Menurut beberapa sumber informasi luas kawasan tambang di Indonesia pada sektor mineral dan batubara sekitar 11.190.193,70 hektare; pada sektor minyak dan gas sekitar 86.577.535,85 hektare.
Sumber data lain menyebut total luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahun 2000 (termasuk Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan) mencapai sekitar 84.152.875,92 hektare, yang hampir mencakup setengah dari total daratan Indonesia. Namun, ini adalah luas konsesi, bukan berarti seluruhnya sudah dieksploitasi. Luas reklamasi bekas tambang tahun 2021, mencapai 8.539 hektare.
Penggunaan Kawasan Hutan untuk Tambang hingga tahun 2018, dengan status Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk tambang mencapai 753 unit dengan luas 508.630 hektare.
Tidak ada data tunggal dan mutakhir yang secara spesifik menyatakan luasan total kawasan tambang galian A dan B di Indonesia yang sudah dieksploitasi. Angka tepatnya mungkin kurang penting di sini, tapi gambaran luasannya memang sangat ‘miris’.
Batas Moral Yang Ambigu
Metafora: manusia membongkar-bangkir gunung sampai keakar-akarnya, menggambarkan tambang menjadi simbol kerakusan tanpa batas dalam kehidupan manusia modern yang terjebak dalam logika homo economicus, zoon politicon dan sistem kapitalis neoliberal.
Metafora membongkar-bangkir gunung sampai akar-akarnya menggambarkan eksploitasi alam skala besar, radikal, dan berpotensi irreversibel. Ini melampaui kapasitas pemanfaatan sumber daya dan berkembang menjadi penguasaan dan penghancuran.
Pertambangan memang mengandung ambivalensi moral, yang pada sisi progresif penggerak pembangunan, pencipta lapangan kerja, penyedia bahan baku industri modern (logam, mineral, energi) yang semuanya ini menjadi alasan pembenar tindakan demi “kemajuan” dan “kesejahteraan”.
Pada sisi destruktif, kerusakan ekologis masif (deforestasi, polusi air/udara, kehilangan biodiversitas), penggusuran masyarakat adat/lokal, dampak kesehatan, dan ketimpangan sosial, merupakan nilai intrinsik alam yang ditekan (ditelan) nilai intrinsik ekonomi yang biasanya satu paket dengan tambang yang merusak, mewakili hasrat tak terpuaskan akan akumulasi kapital dan sumber daya. Logika “ekstraksi tanpa henti” demi pertumbuhan ekonomi yang konstan (liberalisme-kapitalisme), seringkali mengabaikan daya dukung alam dan keberlanjutan jangka panjang.
Paradigma Manusia Dan Kekuasaan Modern
Homo Economicus di mana manusia sebagai aktor rasional cenderung memaksimalkan kepuasan/utilitas (biasanya materi) dan meminimalkan biaya. Keputusan didasarkan pada kalkulasi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya (self-interest). Eksploitasi tambang dibenarkan jika keuntungan pribadi/perusahaan (profit) lebih besar dari biayanya.
Nilai alam direduksi menjadi komoditas yang diperdagangkan. Keputusan ekstraksi jarang mempertimbangkan (secara serius, berintegritas) biaya sosial-lingkungan jangka panjang secara memadai (eksternalitas).
Dalam kaitan ini ada kritik (Polanyi, Sandel) bahwa model ini mengabaikan kompleksitas motivasi manusia (altruisme, nilai sosial, etika), ketergantungan pada ekosistem, dan ketimpangan kekuasaan dalam pasar.
Zoon Politicon, manusia Politik (Aristoteles) menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial cenderung mengusahakan mencapai potensi penuhnya dalam komunitas (polis). Kehidupan bermasyarakat dan partisipasi politik adalah esensi kemanusiaan.
Ketika bertemu konflik dengan homo economicus, logika pasar sering menggerogoti ikatan sosial. Eksploitasi tambang yang merusak lingkungan dan menggusur komunitas menghancurkan tatanan sosial seringkali didikte kepentingan ekonomi (korporasi) ketimbang kesejahteraan kolektif.
Sistem politik sering dikapitalisasi, di mana kekuasaan digunakan untuk melayani akumulasi kapital bukan akumulasi kapital untuk melayani rakyat melalui kekuasaan.
Akumulasi kapital tak berujung sebagai tujuan utama. Sektor swasta dan mekanisme pasar dianggap paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya dan peran negara diminimalkan (deregulasi, privatisasi).
Mencari Batas yang Jelas
Mengatasi ambiguitas moral ini memerlukan pergeseran paradigma:
Pertama, menggeser dari homo economicus ke ekologi-profunda dan etika bumi (Aldo Leopold). Konsep ini mengakui manusia sebagai bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas. Tindakan manusia “benar” jika ia menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik karena alam memiliki nilai intrinsik.
Kedua, memperkuat zoon politicon dalam pengelolaan SDA, dengan mendorong demokratisasi pengelolaan sumber daya alam melalui partisipasi aktif, Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat/lokal, dan penguatan kelembagaan lokal.
Ketiga, membatasi logika pasar (Polanyi) dengan mengembalikan ekonomi sebagai bagian yang tertanam (embedded) dalam hubungan sosial dan ekologis. Memperkuat regulasi lingkungan dan sosial yang ketat, serta mekanisme yang memaksa internalisasi eksternalitas (mis., pajak karbon, denda polusi).
Keempat, ekonomi ekologis dan berkelanjutan (Herman Daly) membangun kesadaran dan mengakui batas-batas planet (planetary boundaries). Fokus pada kesejahteraan (well-being) dan keberlanjutan (sustainability), bukan hanya pertumbuhan PDB. Opsinya mendorong ekonomi sirkular dan transisi energi terbarukan.
Kelima, mendorong keharusan pertanggungjawaban dan keadilan antargenerasi (Hans Jonas). Prinsip tanggung jawab (responsibility) terhadap kelangsungan hidup manusia dan planet di masa depan harus menjadi pedoman moral utama dalam tindakan teknologi dan eksploitasi skala besar.
Sebagai penutup, tulisan ini mengajak publik membangun kesadaran dan menggiatkan kritik kebijakan publik, agar Indonesia Emas 2045 yang dicita-citakan tidak jadi fatamorgana karena tergerus oleh moralitas yang ambigu. Semoga.