Budaya Penyematan Gelar Haji

Budaya Penyematan Gelar Haji

MAKLUMAT — Gegara tidak dipanggil Pak Haji, seorang penjual sate ayam marah-marah ke tetangganya. Ada pula seorang ibu separuh baya yang enggan menoleh saat disapa tanpa penyebutan Bu Hajah. Pertanyaannya, apakah orang yang telah menunaikan ibadah haji harus menggunakan gelar haji atau hajah?

Penyematan gelar haji atau hajah bagi setiap jamaah haji yang sudah kembali ke Tanah Air masih menjadi budaya turun-termurun di kalangan masyarakat. Umumnya, gelar tersebut ditambahkan di depan nama seseorang untuk menandakan bahwa ia pernah pergi berhaji.

Banyak orang kemudian menuliskan gelar haji atau hajah dalam dokumen kependudukan seperti KTP, KK, dan SIM. Ada kebanggaan tersendiri saat dipanggil Pak Haji atau Bu Hajah lantaran memang sudah melaksanakan rukun Islam yang kelima. Bahkan ada sebuah keluarga yang sengaja memasang stiker di belakang kaca mobil mereka: Keluarga Haji.

Dalam kondisi tertentu, penggunaan gelar haji atau hajah dapat menaikkan status seseorang di depan publik. Seseorang yang bergelar haji atau hajah dianggap memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi. Namun tak jarang pula gelar haji atau hajah hanya dijadikan komoditas politik atau bisnis yang justru perilaku penyandangnya berlawanan dengan nilai-nilai ritualitas haji.

Asal Usul Gelar Haji

Dalam konteks kesejarahan Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada seseorang yang telah pergi berhaji demi mengidentifikasi para jamaah haji yang mencoba memberontak sepulang dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme.

Asal usul gelar haji senyatanya digagas oleh pemerintah kolonial sendiri sebagai simbol pergerakan politik pribumi atas kekuasaan kolonialisme. Pada awal abad XX, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji. Sejak itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari Makkah diberi gelar haji.

Baca Juga  Langkah Strategis Menjaga Keberlangsungan Pendidikan Muhammadiyah

Pemberian gelar haji akhirnya berpengaruh besar bagi gerakan politik kebangsaan, yaitu mengajak umat Islam melakukan perlawanan atas cengkraman kolonial Belanda. Gelar haji secara implisit selain mengandung pengakuan kesalihan, derajat sosial-budaya, sekaligus menyimpan kekuatan politik.

Para kolonialis Belanda semakin berfikir keras disebabkan setiap ada warga pribumi pulang dari ibadah haji selalu terjadi pemberontakan. Bisa dikatakan, tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji pribumi, terutama Kiai Haji dari kalangan pesantren. Kemunculan pergerakan Islam yang memicu pemberontakan terhadap kolonialisme kian membuat Belanda ketar-ketir.

Tak hanya itu, kebanyakan orang yang kembali dari ibadah haji dianggap sebagai orang suci, sehingga pendapat mereka lebih dihormati dan disegani. Hal ini semakin menambah ketakutan Belanda dengan munculnya gerakan Islam lainnya yang siap mendobrak kekuasaan kolonialisme. Pemberian gelar haji bagi setiap orang pribumi yang kembali dari Tanah Suci awalnya memang untuk mengenali mereka jika terjadi pemberontakan.

Sebagaimana yang dilansir situs resmi Kemenag, bahwa asal usul pencantuman gelar haji dan hajah di Indonesia dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dari perspektif keagamaan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah ibadah yang tidak semua orang bisa lakukan. Itu sebabnya, penyematan gelar haji dan hajah dianggap layak disandang mereka yang berhasil melaksanakannya.

Kedua, dari perspektif kultural, cerita-cerita unik, heroik, dan menarik selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita populer yang membuat banyak orang tertarik untuk naik haji. Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Hal-hal inilah yang kemudian membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji atau hajah di Indonesia memiliki status sosial yang terhormat.

Baca Juga  Akselerasi Distribusi, Lebih Dari 147 Ribu Jemaah Haji Indonesia Sudah Terima Kartu Nusuk

Ketiga, dari perspektif kolonial, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji dengan berbagai cara karena takut akan pengaruh haji pribumi bagi gerakan anti-penjajahan. Salah satu caranya adalah dengan membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada tahun 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

Soal Gelar Haji

Penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, kerap mendapatkan kritik dari sebagian ulama. Penyematan gelar haji atau hajah dinilainya sebagai perbuatan riya’ dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Tidak pernah tertulis, misalnya, H. Muhammad SAW, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, dan H. Ali bin Abi Thalib, dan seterusnya.

Jamak dimaklumi, di antara lima rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan sebagai gelar, dan tidak ada orang usai mengerjakan rukun Islam yang lain seperti mengucap kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, lalu menyandang gelar tertentu. Pemerintah Saudi Arabia pun tidak pernah mengeluarkan secara resmi sertifikat gelar haji bagi para jamaah haji.

Penyematan gelar haji jika dilihat dari dimensi yang lain, juga menyimpan beberapa persoalan, terlebih dari aspek sosial. Pertama, gelar haji akan cenderung mengurangi keikhlasan seseorang. Pemberian gelar haji berpotensi membuat niat orang yang beribadah haji tersebut bergeser. Memang tidak semua orang demikian, namun dikhawatirkan kondisi itu terjadi pada orang yang tidak memahami substansi dari haji itu sendiri.

Kedua, pemberian gelar haji menyebabkan hikmah dari ibadah haji menjadi kabur. Seseorang yang telah menjalankan ibadah haji merasa cukup dengan adanya gelar haji tersebut. Ketiga, pemberian gelar haji juga berisiko mendatangkan kesombongan. Dengan adanya titel haji atau hajah itu, strata sosialnya akan terangkat di mata masyarakat. Implikasinya akan muncul kemungkinan rasa takabur atau sombong yang dilarang dalam agama.

Baca Juga  Mendaruratkan dan Menormalkan: Politik Menggaruk Bagian Tubuh yang Tidak Gatal

Keempat, pemberian gelar itu berpotensi disalahgunakan untuk komoditas politik atau kepentingan pribadi. Kita dapat melihat saat musim pemilu atau pilkada. Semua calon yang berkompetisi seakan berlomba memasang gelar haji atau hajah di depan namanya. Padahal sikap dan perilakunya setelah terpilih terkadang tak sesuai dengan gelar yang disandangnya.

Dalam catatan riwayat, Rasulullah SAW sendiri dan para sahabat memang tidak menggunakan gelar haji atau hajah di depan nama mereka, padahal mereka sudah menunaikan ibadah haji. Lantas, apakah penggunaan gelar haji dianggap perkara bid’ah? Hemat penulis, pencantuman gelar haji atau hajah di depan nama bukan sesuatu yang terlarang. Penggunaan gelar akademik seperti Profesor, Doktor, Master of Art, atau gelar keulamaan seperti Kiai Haji, Buya, Syeikh, Imam, juga tidak dikenal pada zaman Nabi dan sahabat.

Tidak ada perintah maupun larangan untuk menggunakan gelar haji atau hajah bagi yang telah menunaikan ibadah haji. Kiranya sah sah saja gelar haji atau hajah digunakan asalkan tidak untuk riya’, takabur, dan kesombongan. Jika ada orang yang sudah beribadah haji, lalu marah-marah sebab tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajah, yang bersangkutan perlu mengkaji kembali esensi ibadah haji, agar tidak menggugurkan pahala hajinya.

Penyematan gelar haji atau hajah di depan nama seseorang semestinya menjadi pertaruhan nama baik agar menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Toh posisi haji merupakan ibadah ritual yang sangat sakral, bukan sekadar gelar keduniawian untuk pamer status sosial.***

*) Penulis: Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *