MAKLUMAT — Imam dari Jamaica Muslim Center (JMC) New York, Amerika Serikat (AS), Dr Shamsi Ali, menyebut kondisi umat Islam di negara-negara Barat masih menghadapi tantangan serius, termasuk tren Islamofobia yang masih terus berlangsung.
Islamofobia di AS serta negara-negara barat lainnya, kata Shamsi, masih mengalami pasang surut dalam beberapa tahun terakhir. Meski terkadang mereda, sentimen negatif terhadap umat Islam tetap kuat, terutama dalam narasi politik hingga media.
“Salah satu penyebabnya adalah kebodohan, trauma sejarah, dan arogansi,” ujar Shamsi dalam tausiyah di Kajian Spesial Ahad Ba’da Subuh Masjid Al-Badar, Kota Surabaya, Ahad (25/5/2025).
Gejala Islamofobia dalam Berbagai Bentuk
Selama tinggal di AS dan mengunjungi negara-negara Eropa, ia mengaku banyak menemukan gejala Islamofobia semacam itu. Dari korban salah tangkap karena dituduh merakit bom, hingga seperti penamaan Kopi Turki yang disamarkan menjadi Kopi Spesial.
“Saya pernah menemukan, ada Kopi Turki yang disebut sebagai Special Coffe. Bagi mereka, Turki itu adalah Kekaisaran Ottoman yang dulu dianggap menjajah bangsa Barat. Trauma mereka terhadap kebangkitan Islam, bahkan membuat kata Turki tidak disebut,” ceritanya.
Dalam dunia politik, Shamsi menyoroti kehadiran tokoh-tokoh yang membawa narasi rasis, salah satunya adalah Donald Trump. “Dunia politik dikuasai oleh politisi-politisi yang berorientasi rasis dan radikal. Donald Trump salah satunya,” katanya.
Kebijakan-kebijakan Trump yang anti-imigran dan retorika yang memojokkan umat Islam dinilai memperkuat gelombang Islamofobia. Bahkan Trump pernah berencana melarang seluruh orang Islam agar tidak dapat masuk ke AS, meski akhirnya ini tidak bisa terwujud.
Shamsi juga menceritakan pengalamannya pasca tragedi 11 September 2001, saat dua menara kembar World Trade Center (WTC) diserang, menewaskan hampir 3.000 jiwa. Kala itu, ia mendampingi Presiden AS, George Bush.
Hal itu membuat dirinya disebut sebagai wajah Islam moderat oleh orang-orang sana. Namun, setelah ditelusuri, istilah ‘moderat’ yang dimaksud ternyata merujuk pada sikap yang justru menjauh dari syariat Islam yang sebenarnya.
“Saya disebut sebagai wajah moderat Islam. Apa itu moderat, ternyata maksudnya yang jauh dari syariah Islam yang sesungguhnya,” tambah Shamsi.
Perkuat Semangat Dakwah Islam di Ranah Global
Kendati demikian, Shamsi menegaskan bahwa hal tersebut tidak membuat ia dan banyak umat Islam lain di AS berhenti berdakwah. Justru, lanjutnya, dakwah Islam di ranah global harus semakin diperkuat.
Terlebih ada tren peningkatan umat Islam di dunia. Di Kota New York misalnya, umat Islamnya sudah mencapai sekitar 1 juta penganut dari total populasi penduduk yang mencapai 11 juta jiwa. Bahkan di kota itu, kini ada Zohran Mamdani, calon Wali Kota beragama Islam yang sedang berkontestasi.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa salah satu hal menarik yang membuat orang AS memeluk Islam adalah ketika melihat perjuangan umat Islam di Gaza, Palestina. “Mereka heran, kok bisa sekuat itu di Gaza. Ternyata karena keyakinan yang kuat. Mereka luluh,” sebutnya.
Shamsi menilai, dakwah Islam semakin relevan di negara-negara Barat, yang selama ini dikenal minim dalam aspek spiritualitas dan kehidupan beragama. Terlebih, ketika masih adanya struktur sosial dan ekonomi yang timpang.
Kekayaan, menurutnya, hanya dikuasai oleh segelintir orang, dan ketimpangan ini turut memperkeruh hubungan antarkelompok. Bahkan di AS banyak orang mengalami gangguan mental karena terlalu mengejar hal-hal duniawi. “Saat hati disandarkan pada materi, maka kepuasan tak akan pernah tercapai,” tegasnya.
Oleh karenanya, ia yakin bahwa meski Islamofobia terus muncul, namun dakwah Islam harus selalu digaungkan di negara-negara Barat. Shamsi meyakini, suatu saat Islam akan bisa diterima oleh bangsa Barat tanpa ada stigma yang negatif.