MAKLUMAT — Lima pria dengan kepentingan nasional yang berbeda duduk satu meja di sebuah resor pantai di Thailand, mengenakan pakaian santai dan menyusun masa depan Asia Tenggara. Bukan dalam aula besar atau perundingan resmi, tapi melalui apa yang kelak mereka sebut sebagai “diplomasi kaus olahraga.” Dari musyawarah santai itu, pada 8 Agustus 1967, lahirlah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Deklarasi itu ditandatangani oleh lima Menteri Luar Negeri, yaitu Adam Malik (Indonesia), Narciso R. Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand). Mereka kini dikenang sebagai Bapak Pendiri organisasi regional yang dinilai paling sukses di dunia berkembang: Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN.
Dilansir dari laman resmi ASEAN, dokumen yang mereka tandatangani, hanya lima pasal, tapi dampaknya melampaui batas-batas negara. Di dalamnya tertulis tekad membangun kerja sama regional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan perdamaian. Hal ini sekaligus sebagai pengakuan bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki “keinginan kolektif” untuk menentukan nasib sendiri.
Menyatukan yang Berselisih
Pembentukan ASEAN bukan sekadar cita-cita damai. Di baliknya ada konflik, perpecahan, dan rekonsiliasi. Sebelum ASEAN terbentuk, Indonesia baru saja menyudahi konfrontasinya dengan Malaysia. Thailand, yang menjadi penengah, memanfaatkan momen ini untuk menyodorkan gagasan kerja sama baru.
“Saya mengemukakan gagasan pembentukan organisasi lain untuk kerja sama regional dengan Adam Malik,” kenang Thanat Khoman dalam pernyataan resminya. Malik tak ragu menerima ide itu, tapi meminta waktu untuk menormalisasi hubungan dengan Malaysia. Beberapa bulan kemudian, undangan resmi dilayangkan, dan Singapura ikut bergabung sebagai peserta aktif.
Diplomasi Golf dan Visi Kolektif
Empat hari penuh mereka habiskan di Bang Saen, jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sela perdebatan, para menteri bertukar tawa, bertanding golf, dan berdiskusi dari hati ke hati. Di sinilah, pendekatan khas ASEAN terbentuk, yakni informal, pelan, tapi penuh itikad baik.
Saat penandatanganan Deklarasi, satu per satu para Menteri memberikan pidato. Narciso Ramos dari Filipina menekankan betapa berat negosiasi yang mereka hadapi. Namun menurutnya, justru dari kesulitan itu fondasi ASEAN dibangun. “Ekonomi Asia Tenggara yang terfragmentasi hanya bisa tumbuh bila kita menggalang potensi bersama,” ujarnya.
Adam Malik dan Nama ASEAN
Adam Malik, wakil dari Indonesia, mengingat kembali bagaimana gagasan ini bermula dari rekonsiliasi. Dengan suara tegas ia mengungkap visi Indonesia: Asia Tenggara yang mandiri dan tahan dari pengaruh luar. Ia juga memperingatkan bahwa kerja sama itu bukan mimpi kosong, tetapi tanggung jawab bersama.
Di akhir pertemuan, Thanat Khoman memberikan kenang-kenangan kepada seluruh koleganya. Pada hadiah yang ditujukan kepada Adam Malik, terukir kalimat sederhana namun penting, “Sebagai pengakuan atas jasa Yang Mulia Adam Malik kepada organisasi ASEAN, yang namanya diusulkan oleh beliau.”
Visi yang Bukan Sekadar Deklarasi
Tun Abdul Razak dari Malaysia berbicara dengan penuh semangat, “Kita harus membuktikan dengan perbuatan bahwa kita adalah bagian dari keluarga Asia Tenggara… dan bertekad membentuk nasib kita sendiri.”
Senada dengan itu, S. Rajaratnam dari Singapura mengingatkan bahwa keberhasilan ASEAN tak mungkin tercapai tanpa penyesuaian. “Kita harus berpikir bukan hanya secara nasional, tapi juga secara regional. Kalau tidak, regionalisme hanya akan menjadi utopia,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa ASEAN bukan alat untuk memusuhi siapa pun, melainkan alat untuk mencegah balkanisasi.
Thanat Khoman menutup pidato dengan pernyataan bernas, “Apa yang telah kita putuskan hari ini hanyalah awal kecil dari apa yang kita harapkan akan menjadi rangkaian pencapaian panjang dan berkelanjutan.”
Dari Lima Berkas Padi ke Sepuluh
Logo ASEAN awalnya hanya menampilkan lima berkas padi, Lambang dari lima negara pendiri. Tapi seiring waktu, ketika anggota ASEAN menjadi sepuluh, jumlah berkas padi pun bertambah. Warna-warnanya mewakili kekuatan, kemakmuran, dan semangat kekeluargaan.
Kini, hampir enam dekade berlalu sejak Deklarasi Bangkok, ASEAN telah menandatangani sejumlah kesepakatan penting, mulai dari Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama tahun 1976 hingga Zona Bebas Senjata Nuklir tahun 1995. Visi inklusif para pendiri terus hidup. Bukan hanya untuk Asia Tenggara, tapi juga untuk kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas.
Meski demikian, ASEAN bukan tanpa persoalan. Konflik antarnegara masih terjadi. Konflik Thailand-Kamoja beberapa waktu lalu adalah salah satunya. Namun sejak awal, para pendiri sepakat: perbedaan harus diselesaikan secara damai. Karena dari awal, tugas utama ASEAN adalah membangun ruang dialog dan kerja sama yang terbuka. Itulah yang terus dikerjakan, dari diplomasi meja makan hingga diplomasi lintas generasi.