Dari PSN, Militer, hingga Korupsi: WALHI Kritik Arah Pembangunan Prabowo yang Lanjutkan Pembangunan Eksploitatif Era Jokowi

Dari PSN, Militer, hingga Korupsi: WALHI Kritik Arah Pembangunan Prabowo yang Lanjutkan Pembangunan Eksploitatif Era Jokowi

MAKLUMAT — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan bahwa Pemerintahan Prabowo masih saja melanjutkan dan memperluas ambisi pembangunan era Jokowi yang terbukti memperparah krisis sosial-ekologis. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan tanpa evaluasi dampak terhadap masyarakat adat dan lingkungan.

“Hilirisasi mineral seperti nikel dan bauksit menyebabkan pencemaran, kerusakan ekologis, dan ancaman keselamatan komunitas. Rencana pelepasan 20 juta hektar kawasan hutan untuk pangan dan energi menunjukkan keberpihakan negara pada korporasi, bukan pada kelestarian alam,” tulis mereka dalam siaran pers, dikutip dari laman resmi WALHI pada Jumat (12/9/2025).

Saat ini, UU Cipta Kerja yang melegitimasi PSN sedang digugat oleh WALHI bersama masyarakat sipil dan komunitas terdampak. WALHI juga menggugat 13 pasal bermasalah dalam kluster lingkungan yang melemahkan perlindungan ekologis, membatasi partisipasi publik dalam AMDAL, dan menghapus kanal pengawasan masyarakat.

Menurut mereka, UU ini telah menjelma menjadi instrumen legal bagi kerusakan ekologis. UU Cipta Kerja mencederai keadilan ekologis dan membuka ruang eksploitasi tanpa perlindungan memadai. Selain itu, WALHI menilai bahwa sistem digital yang bias terhadap wilayah terpencil mempersempit akses informasi dan pengawasan.

Temuan WALHI di sepuluh provinsi juga menunjukkan bahwa penertiban kawasan hutan menimbulkan intimidasi dan konflik baru. Tuntutan agar TNI kembali ke barak dan pencabutan mandat militer dari proyek sipil seperti food estate, smelter, dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan tidak hanya diabaikan, tetapi justru diperluas. Revisi UU TNI yang seharusnya membatasi peran militer malah memperluas jabatan sipil bagi prajurit aktif. Ini dianggap sebagai kemunduran serius dalam demokrasi dan supremasi sipil.

Baca Juga  Prabowo Subianto Janji Perjuangkan Kesejahteraan Hakim, DPR Siap Dorong Aspirasi ke Pemerintah

“Keterlibatan TNI dalam proyek food estate telah menyebabkan konflik agraria, penggusuran paksa, dan kriminalisasi masyarakat adat. Dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan, militer digunakan sebagai alat represi terhadap komunitas yang mempertahankan ruang hidupnya. Ini adalah bentuk baru militerisasi pembangunan yang mengaburkan batas antara keamanan dan ekonomi,” ujar WALHI.

Menurut mereka, keterlibatan TNI dan aparat keamanan dalam industri pertambangan dan smelter berdampak serius terhadap hak masyarakat dan pekerja. Keluhan warga dan buruh dianggap ancaman, padahal menyangkut keselamatan kerja. WALHI memaparkan bahwa Sembada Bersama Indonesia mencatat sepanjang periode 2019 hingga 2025 terjadi 104 insiden kecelakaan kerja di seluruh fasilitas smelter nikel di Indonesia, sebanyak 107 pekerja dilaporkan meninggal dunia dan 155 lainnya mengalami luka-luka.

Namun hingga kini, persoalan tersebut belum ditangani secara serius. Narasi PSN menutup ruang kritik dan akuntabilitas. Contoh nyata kekerasan terjadi di Banten, saat sejumlah wartawan mengalami penganiayaan dalam inspeksi mendadak oleh KLHK di PT Genesis Regeneration Smelting. WALHI menegaskan bahwa TNI tidak boleh masuk ke ranah sipil. Negara harus mencabut seluruh mandat militer dari proyek sipil dan mengembalikan supremasi sipil sebagai prinsip dasar demokrasi.

“Di sisi lain, praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terus digunakan untuk membungkam pejuang lingkungan dan pembela HAM. WALHI mencatat 1.131 korban dalam 10 tahun terakhir, termasuk 11 anak. Sebanyak 544 kasus berlanjut ke persidangan, menimbulkan tekanan ekonomi dan psikologis yang berat. SLAPP juga mengguncang stabilitas keluarga, terutama jika korban adalah pencari nafkah utama. Kewenangan upaya paksa yang luas dan minim pengawasan memperparah situasi ini,” tulis WALHI.

Baca Juga  Rosan dan Arsjad Bertemu, Sebut Tak Ada Kaitan dengan Pilpres 2024

WALHI juga mendesak Pemerintah dan DPR mengevaluasi seluruh regulasi yang melegitimasi praktik SLAPP. Perlindungan terhadap pejuang lingkungan harus diatur dalam UU khusus seperti UU Partisipasi Publik atau UU Anti-SLAPP. R-KUHAP juga harus diperkuat sebagai instrumen pengawasan terhadap kewenangan aparat penegak hukum, agar tidak digunakan secara sewenang-wenang untuk mengkriminalisasi warga. Meskipun Pasal 66 UU PPLH menjamin perlindungan, penerapannya sangat bergantung pada konstruksi pasal-pasal dalam R-KUHAP.

Sementara itu, korupsi di sektor kehutanan, tambang, dan energi semakin mengakar. Konsesi diberikan tanpa transparansi, pengawasan dilemahkan, dan ruang hidup rakyat dikorbankan demi kepentingan elite. Pada Maret 2025, WALHI melaporkan 47 perusahaan ke Kejaksaan Agung atas dugaan perusakan lingkungan dan korupsi SDA, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 437 triliun. Skandal PT Timah Tbk juga menunjukkan kerugian ekologis dan ekonomi hingga Rp 300 triliun. Menurut CELIOS, kerugian pertambangan diperkirakan mencapai Rp 60 triliun per tahun.

“Pemerintah terus menormalisasi perampasan ruang melalui proyek hilirisasi dan investasi yang tidak berkelanjutan. Masyarakat adat dan komunitas lokal jarang dilibatkan, dan justru menjadi korban penggusuran, pencemaran, dan kekerasan. Negara gagal menjalankan mandat konstitusional untuk melindungi rakyat dan lingkungan hidup,” ujar WALHI.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *