MAKLUMAT – Keterbatasan bukan alasan berhenti bermimpi. Itulah yang diyakini Bonifacius David Hendrawan, mahasiswa difabel ini baru saja diwisuda dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Ia lulus cumlaude dengan IPK 3,68.
Empat tahun bukan waktu singkat baginya. Ruang kelas tak pernah sepi dengan kehadiran sang ibu, Ina Rostiana Ari Nugrahani. Ia senantiasa menunggu sang buah hati di depan kelas. Empat tahun lamanya. Ina, tak pernah absen memberi semangat bagi putranya.
David adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMSurabaya. Sehari-hari David hidup berdampingan dengan keterbatasan fisik. Namun, semangat belajarnya tak pernah padam.
Ayahnya, Purwoko Alfa Kurniawan, hanya berharap anaknya bisa mengenal huruf dan angka. Itulah impian sejak David masih anak-anak. Tak disangka, Tuhan memberi lebih. David tumbuh dengan rasa ingin tahu yang besar, terutama pada bahasa.
Sejak SD hingga SMA, David belajar di SLB YPAC Surabaya. Ia tak pernah membayangkan bisa kuliah. Hingga suatu hari, kabar datang dari gurunya: UMSurabaya membuka beasiswa penuh bagi mahasiswa difabel.
Ia mencoba dan diterima. Awalnya ada keraguan. Cukup masuk akal baginya, mengingat ia menempuh pendidikan di kampus Islam.
Sementara ia seorang non-Muslim dan taku tak bisa menyesuaikan diri. Tapi keraguan itu hilang di hari-hari pertama.
“Semua orang di kampus memperlakukan saya dengan sangat baik. Tidak ada perbedaan,” katanya pelan. “Dosen-dosen juga sangat sayang dan banyak membantu,” ujar David menambahkan.
Tapi hidup tak selalu mulus. Ada hari-hari saat ia lelah. Tugas menumpuk. Pikiran berat. Saat itulah ibunya hadir.
“Kalau ditanya siapa yang paling berjasa, pasti Mama,” ucap David dengan suara bergetar. “Beliau teman saya dalam mengerjakan tugas. Orang yang selalu mengingatkan bahwa setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan dengan berani,” ungkap David menambahkan.
Perjalanan mereka bukan tanpa ujian. Rumah ke kampus butuh waktu satu setengah jam. Kendaraan yang dimiliki sudah dimodifikasi untuk memudahkan David.
“Awalnya Mama belajar naik motor jarak jauh dulu. Itu selama satu bulan. Demi saya, Mama berani,” kenangnya.
Pernah motor mogok. Pernah besinya patah di tengah jalan. Tapi ibu itu tak menyerah. Ia cari cara agar anaknya bisa tetap kuliah.
“Bagi saya, Mama ibu terbaik di dunia,” kata David, matanya berkaca-kaca. “Saya selalu berdoa agar Mama diberi umur panjang,” lanjut David.
Doa, harapan, dan perjalanan yang dilalui David membuat sejumlah dosen di Dyandra Convention Hall, tempat wisuda, mengusap air mata.
Beasiswa difabel di UMSurabaya membuka jalan bagi mimpinya. Ia menulis skripsi berjudul Improving English Writing Text of 12th Grade Students with Physical Impairments Using Instagram Feed in SLB YPAC Surabaya.
Skripsi itu bukan sekadar tugas akhir. Itu bukti nyata: keterbatasan tidak menghalangi inovasi.
“Terima kasih UMSurabaya sudah mewujudkan mimpi saya. Dulu hanya tertulis di kertas, sekarang jadi kenyataan,” katanya bersyukur.
Kini, David menatap babak baru. Ia ingin membuka kursus bahasa Inggris daring. Ingin tetap produktif. Ingin berbagi ilmu.
UMSurabaya juga tidak tinggal diam. David diganjar beasiswa secara penuh untuk melanjutkan jenjang ke S2.
“Dalam waktu dekat saya mau memulai private online bahasa Inggris,” ujarnya. “Semoga bisa terwujud.”
David, seorang non-Muslim telah melewati pendidikan di kampus Islam dan sudah berlari jauh. Ia telah mengajarkan arti sebuah perjuangan, cinta dan kasih sayang. Kehangatan pelukan seorang ibu telah mengantar David menuntaskan mimpi awal.