MAKLUMAT —Pasca-sidak ke PT Tirta Investama-induk perusahaan Aqua di Subang, Rabu (22/10) lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengaku menerima banyak aduan dari masyarakat yang mengeluhkan sumur-sumur mereka mulai mengering sejak aktivitas produksi air mineral meningkat.
“Air diambil dari bumi warga, jangan sampai justru warga yang kekeringan. Perusahaan harus memastikan kehidupan masyarakat tetap berjalan normal,” kata Dedi.
Ia mengungkapkan sejumlah warga yang ditemui membenarkan kelangkaan air bersih di sekitar kawasan industri. Seorang ketua RW bahkan mengaku tak pernah mendapatkan bantuan air dari perusahaan meski tinggal berdekatan dengan pabrik.
“Kami di sini justru beli air. Tidak pernah dapat bantuan dari Aqua,” ujarnya di hadapan Dedi.
Fenomena serupa juga dilaporkan di beberapa daerah lain tempat pabrik Aqua beroperasi, seperti Klaten, Bogor, dan Pasuruan. Saat musim kemarau, debit air tanah menurun tajam dan memaksa warga bergantung pada suplai air komersial.
Berdasarkan penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun 2021 menunjukkan, adanya penurunan debit air irigasi hingga 76 persen di salah satu desa di Klaten setelah pabrik beroperasi. Dampaknya, ongkos produksi pertanian meningkat lebih dari separuh.
Kondisi ini memicu desakan agar pemerintah melakukan evaluasi serius terhadap tata kelola sumber daya air di sekitar kawasan industri. Pengamat menilai eksploitasi berlebihan tanpa kompensasi sosial bisa menimbulkan konflik lingkungan jangka panjang.
Menanggapi temuan tersebut, pihak Aqua menyatakan komitmennya untuk menjalankan praktik industri yang berkelanjutan. Perusahaan mengklaim telah membuka ruang dialog dengan masyarakat dan lembaga sosial guna memastikan distribusi air dilakukan secara adil dan transparan.