DIREKTUR Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mengkritik praktik demokrasi di Indonesia yang menurutnya berada di taraf ‘cacat’. Sebab itu, demokrasi tidak bisa hanya dilihat dalam prosedurnya semata, tapi harus substansial.
Hal itu dia sampaikan dalam forum Harmoni Membangun Negeri ‘Refleksi Kedewasaan Berdemokrasi Pasca Pemilu 2024’ yang digelar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (13/5/2024).
Menurut Neni, sekitar 57 persen anak-anak muda (di bawah usia 40 tahun) yang berhasil melenggang ke parlemen terindikasi memiliki hubungan dengan politik dinasti, politik kekerabatan, dan oligarki.
“Melihat situasi seperti ini, maka akan susah untuk bisa bergerak bebas dan fair dalam persaingan menuju parlemen. Indikasi ini juga menutup ruang anak-anak muda untuk bisa masuk sistem,” ujarnya.
Perempuan yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah itu berpendapat, sulitnya anak-anak muda berkiprah dalam sistem itu karena kurangnya modal kapital yang mendukung, kendati mereka memiliki modal sosial yang cukup.
“Mungkin ada beberapa yang punya modal sosial, tapi sayangnya tidak memiliki modal kapital. Ini tentu mempersulit anak-anak muda untuk berkecimpung,” kata Neni.
“Anak muda hanya punya dua pilihan, apakah cuma mau diam atau bergerak? Tapi faktanya itu sangat sulit,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Neni menyorot kiprah anak muda dalam Pilkada serentak 2024, dimana tahapan penyerahan berkas syarat dukungan untuk perseorangan telah selesai dilakukan. “Kita sekarang sudah masuk di tahapan Pilkada serentak 2024. Kemarin (Ahad, 12/5/2024) batas terakhir pencalonan perseorangan, ada tidak anak muda yang maju atau masuk sebagai calon perseorangan,” tanya dia.
Neni menilai potensi anak muda untuk bisa mencalonkan diri baik dari jalur perseorangan maupun dari jalur parpol akan sulit. Sebab untuk di jalur parpol, menurut dia, diperlukan relasi kuasa yang cukup kuat agar calon tersebut mendapatkan rekomendasi dari parpol.
“Sekarang anak muda untuk bisa mendapatkan rekomendasi dari partai politik yang mau maju di Pilkada, kalau tidak punya relasi dengan oligarki, ketua partai, bukan anaknya siapa-siapa itu akan sangat sulit. Bahkan kalah oleh artis yang dia cuma punya popularitas saja,” kritiknya.
Selain itu, Neni juga menyorot soal reformasi politik yang digaungkan oleh partai politik (parpol). Menurut dia itu adalah hal yang sukar untuk dilakukan. Sebab, dilihat beberapa partai politik justru faktanya menunjukkan ‘anti-reformasi’ dan tidak melakukan reformasi partai, dimana ketua partainya bertahan belasan hingga puluhan tahun.
“Bagaimana bisa memberikan kesempatan dan peluang anak muda juga partainya saja enggan untuk melakukan reformasi,” selorohnya.
Neni pun mengajak para anak muda untuk lebih peduli terhadap politik dan mampu merebut ruang-ruang narasi publik, termasuk yang tengah gandrung adalah narasi-narasi di ruang media sosial.
“Perubahan besar tidak akan terjadi jika tidak dimulai dengan perubahan-perubahan kecil. Kita harus saling bahu membahu dan berkolaborasi,” tandasnya.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto