MAKLUMAT — Dokter sekaligus Wakil Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr dr Dzulqarnain Andira MH, turut angkat bicara soal kebijakan baru yang memicu kekhawatiran dunia kedokteran terkait posisi kolegium kedokteran.
“Sebagai seorang dokter dan akademisi hukum kesehatan, saya merasa perlu menyuarakan keprihatinan terhadap perubahan tata kelola kolegium kedokteran yang kini berada di bawah Kementerian Kesehatan (Kemkes),” ujar Dzulqarnain dalam keterangannya, Jumat (23/5/2025).
Sekadar diketahui, disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, membawa perubahan besar dalam sistem tata kelola profesi kedokteran di Indonesia.
Perubahan tersebut juga memicu gelombang protes dari berbagai institusi pendidikan kedokteran. Setidaknya 132 dekan Fakultas Kedokteran se-Indonesia, yang terdiri dari 51 Fakultas Kedokteran Negeri dan 81 Fakultas Kedokteran Swasta, menyuarakan keprihatinannya terhadap potensi hilangnya independensi kolegium dan dampaknya terhadap kualitas pendidikan kedokteran.
Salah satu yang memicu kekhawatiran dan menuai banyak sorotan adalah penempatan kolegium kedokteran di bawah kendali langsung Kementerian Kesehatan (Kemkes), yang sebelumnya merupakan badan independen.
Peran Kolegium Kedokteran dan Pentingnya Independensi
Dzulqarnain menjelaskan, kolegium kedokteran memiliki peran vital dalam menjaga mutu pendidikan kedokteran dan menetapkan standar kompetensi dokter. Sebab itu, adanya perubahan struktur tersebut, menurutnya justru menimbulkan kekhawatiran kalangan akademisi, praktisi kesehatan, hingga institusi pendidikan kedokteran di seluruh Indonesia.
Kolegium yang independen, kata dia, menjadi penyeimbang dalam sistem profesi kedokteran. Kolegium berfungsi untuk memastikan bahwa standar pendidikan dan kompetensi didasarkan pada kebutuhan ilmiah, bukan pada agenda politik atau administratif jangka pendek.
“Kami percaya bahwa independensi kolegium bukanlah semata-mata kepentingan profesi, melainkan upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan kita,” terangnya.
Ajakan Dialog Terbuka dan Solusi Bersama
Merespon kebijakan tersebut, alih-alih menentang secara konfrontatif, langkah yang diambil oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) menunjukkan pendekatan yang solutif berupa inisiasi untuk membangun komunikasi resmi dengan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Dzulqarnain, hal itu mencerminkan semangat dialog dan kolaborasi sebagai jalan tengah untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan integritas pendidikan kedokteran. “Dalam konteks inilah, penting untuk membuka ruang diskusi yang sehat dan terbuka antar pemangku kepentingan,” katanya.
Bukan hanya demi menjaga independensi kolegium kedokteran, Dzulqarnain menilai langkah tersebut ditempuh juga sebagai upaya untuk merumuskan tata kelola profesi yang berpihak pada mutu, etika, serta kepentingan publik.
“Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membuka ruang dialog yang konstruktif guna mencari solusi terbaik bagi sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan di Indonesia,” kata dokter kelahiran Surabaya itu.
Ia juga mendukung upaya rekan-rekan akademisi dan praktisi yang menyerukan pentingnya menjaga independensi kolegium. “Kami percaya bahwa kolaborasi antara institusi pendidikan, organisasi profesi, dan pemerintah harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati peran masing-masing,” tandasnya.
Ancam Kualitas Pendidikan Kedokteran
Lebih lanjut, dokter profesional di bidang hukum kesehatan itu secara tegas menyatakan bahwa perubahan tata kelola kolegium perlu dikritisi dengan objektif, demi menjaga kualitas sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Penempatan kolegium di bawah kendali langsung pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan intervensi politik dalam penentuan standar profesi,” tandas Dzulqarnain, yang juga dikenal aktif menyuarakan pentingnya menjaga integritas profesi kedokteran.
Ia berpendapat bahwa kebijakan perubahan tata kelola kolegium tersebut dapat mengancam kualitas pendidikan kedokteran, serta pada akhirnya bakal berdampak pada mutu layanan kesehatan yang diterima masyarakat.
Sebagai akademisi yang berlatar belakang hukum kesehatan, Dzulqarnain menilai independensi kolegium bukan semata isu internal profesi, tetapi bagian dari upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional.