DEWAN Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mengecam keras aksi penangkapan dan penetapan status tersangka 19 aktivis mahasiswa oleh Polres Bima.
Penangkapan 19 aktivis mahasiswa itu dilakukan oleh aparat kepolisian diduga lantaran mahasiswa mengkritik kondisi jalan yang rusak di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik, Baikuni Alshafa menilai, penangkapan dan penetapan tersangka 19 aktivis mahasiswa adalah cacat hukum. Penangkapan terhadap aktivis mahasiswa juga menunjukkan sikap tidak humanis dari kepolisian.
“Kebebasan pendapat di muka umum adalah hak konstitusi. Penangkapan dan penetapan tersangka itu bentuk arogansi aparat dan mencorang wajah Kepolisian Republik Indonesia yang kembali menjadi sorotan,” katanya kepada maklumat.id.
Menurut pria karib disapa Alsha, Kapolres Kabupaten Bima telah bersikap pongah, serta jauh dari bingkai humanisme dan jargon ‘presisi’ seperti yang dielu-elukan oleh Kapolri. “Seperti data yang sudah dikumpulkan oleh tim DPP IMM, tidak satu pun yang dihiraukan atau dijadikan rujukan serta pertimbangan hukum,” terangnya.
Alsha mencontohkan, pada pernyataan sikap yang dilakukan untuk penangguhan penahanan oleh wali/orang tua dari 15 tersangka massa aksi Front Perjuangan Rakyat Donggo-Soromandi (FPR-DS) pada Jum’at, 16 Juni 2023 lalu. “Yang itu pun tidak diberikan dan tidak dihargai,” ungkapnya.
Lebih parahnya lagi, lanjut Alsha, sikap 16 Kepala Desa (Kades) se-Kecamatan Donggo dan Soromandi bersama Camat yang sudah melayangkan permohonan penangguhan terhadap 15 tersangka massa aksi FPR-DS pada tanggal 6 Juni 2023, tidak juga dikabulkan. “Itu bukti kuat dimana Polres Kabupaten Bima tidak menunjukkan sikap humanisnya kepada rakyat,” imbuhnya.
Sebelumnya diketahui, 19 aktivis mengatasnamakan FPR-DS yang melakukan demonstrasi dengan mengkritik dan menuntut pembangunan jalan di Kecamatan Donggo dan Soromandi, Kabupaten Bima, NTB telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kapolres Bima.
Atas peristiwa itu, 16 Kades se-Kecamatan Donggo dan Soromandi bermaksud untuk menemui Kapolda NTB, namun hanya diterima oleh Diskrimsus Polda NTB pada tanggal 8 Juni 2023 lalu.
Tak hanya itu, masyarakat adat pun sampai menggelar Musyawarah Adat Lembaga Adat dan Syariat Donggo hanya untuk memberikan jaminan agar pata aktivis yang ditahan tersebut bisa segera dibebaskan. Tapi, hal yang dikehendaki tersebut masih urung terjadi.(*)