TREN selebritis dan artis terlibat dalam kontestasi politik sebagai calon legislatif (caleg) bukan hal baru. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu 2009 terdapat 61 orang, lalu 77 orang pada Pemilu 2014, dan meningkat signifikan jadi 116 orang pada Pemilu 2019.
Dari tiga pemilu tersebut, persentase caleg dari kalangan artis dan selebritis yang melenggang ke Senayan pada Pemilu 2009 sebesar 31 persen, lalu menurun menjadi hanya 29 persen pada Pemilu 2014. Bahkan, hanya 12 persen pada Pemilu 2019 lalu.
Pada Pemilu 2024 nanti, setidaknya ada 50 artis yang menjadi caleg. Nah, fenomena itu menurut Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik (HPKP) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Baikuni Alshafa, sebagai gambaran pragmatisme politik.
”Tren itu (artis nyaleg) sudah menjadi cerminan partai-partai yang ada saat ini, dimana pragmatisme menjadi tujuan utama untuk menunjang elektabilitas parpol di mata publik,” terang alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu kepada Maklumat.id.
Sebab, dengan adanya figur artis di sebuah parpol tentu saja bertujuan meningkatkan popularitas parpol. Terlebih bagi parpol yang masuk kategori partai menengah ke bawah.
“Nyaleg itu adalah hak setiap warga negara. Termasuk artis. Terlepas dari baik atau tidaknya Caleg artis tersebut secara kapabilitas, artis dinilai bisa mendongkrak popularitas partai. Jadi wajar mereka dirangkul. Itu terjadi karena parpol butuh tunjangan popularitas. Juga butuh modal dari mereka (artis) yang nyaleg,” ujarnya.
Dia menambahkan, perihal efektif atau tidaknya caleg artis di sebuah parpol, baginya hal itu bukan menjadi sorotan utamanya, melainkan yang terpenting adalah substansinya. Maksudnya adalah suara atau aspirasi dari rakyat yang harus bisa benar-benar diwakili atau tidak.
Menurut dia, berkaca dari beberapa pemilu ke belakang, adanya figur artis di parpol ternyata tidak memiliki dampak dan perubahan yang signifikan bagi rakyat. Para artis seolah hanya menjadi alat bagi parpol untuk mendongkrak perolehan suara berkat kepopuleran mereka di publik.
“Contohnya saja UU ‘Omnibus Law’ Ciptaker yang juga terus jalan, UU Minerba, Revisi UU KPK, dan lain-lain. Suara mereka (artis) juga tidak begitu berpengaruh dalam proses keputusan politik di DPR atau di parpol yang selama ini mengendalikan mereka yang ada di legislatif, DPR pusat ataupun daerah,” jelasnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto