Dua Tahun Badai Al-Aqsa: Mengguncang Tatanan Politik Global, Kebangkitan Nurani Kemanusiaan

Dua Tahun Badai Al-Aqsa: Mengguncang Tatanan Politik Global, Kebangkitan Nurani Kemanusiaan

MAKLUMAT — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA, mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi tepat dua tahun memperingati operasi ‘Badai Al-Aqsa’ yang dilancarkan pada 7 Oktober 2023 lalu.

Menurut Sudarnoto, tanggal 7 Oktober tersebut akan dikenang sebagai titik balik sejarah Palestina dan dunia. Badai Al-Aqsa, kata dia, bukan sekadar peristiwa militer atau bentrokan bersenjata, melainkan momentum yang mampu mengubah arah perjuangan rakyat Palestina.

“Bukan sekadar peristiwa militer atau bentrokan bersenjata, tetapi momentum yang mengubah arah sejarah, mengguncang tatanan politik global, dan membuka mata dunia terhadap wajah asli kolonialisme modern bernama Israel,” ujar Sudarnoto, dalam keterangannya kepada Maklumat.id, Senin (6/10/2025).

Ia menilai, sejak peristiwa tersebut, Israel mulai kehilangan pijakan moral dan legitimasi politik. Dunia yang selama ini disuguhi propaganda tentang ‘hak mempertahankan diri’, menurutnya sudah mulai sadar bahwa apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang dua pihak yang setara, melainkan pembantaian terhadap rakyat tertindas yang selama lebih dari tujuh dekade hidup di bawah pendudukan brutal.

“Genosida yang dilakukan Israel di Gaza, yaitu penghancuran rumah sakit, pembunuhan anak-anak, dan blokade terhadap bantuan kemanusiaan menjadi saksi nyata dari runtuhnya moral kemanusiaan rezim Tel Aviv dan sekutunya,” jelasnya.

Dua Tahun Berlalu: Israel Semakin Tersisih

Kini, dua tahun telah berlalu sejak operasi Badai Al-Aqsa 7 Oktober 2023, di mana selama itu pula pasukan militer Israel melancarkan serangan brutal, bahkan genosida di Gaza.

Baca Juga  Beasiswa Master LPDP di Spanyol untuk Bidang Saintek dan Hukum, Pendaftaran Sampai Akhir Agustus

Menurut Sudarnoto, setelah dua tahun, kini Israel semakin tersisih dan terpojok di mata dunia. “Rezim ini telah kehilangan simpati internasional dan berubah menjadi common enemy, musuh bersama bagi mayoritas negara anggota PBB dan masyarakat sipil global,” katanya.

“Dari jalan-jalan di Jakarta, London, New York hingga Johannesburg, jutaan orang turun ke jalan membawa satu pesan yaitu akhiri penjajahan, bebaskan Palestina,” sambung Sudarnoto.

Dari reruntuhan Gaza, dunia menyaksikan lahirnya gelombang empati dan solidaritas global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gerakan masyarakat sipil, lembaga kemanusiaan, akademisi, pemimpin agama, hingga parlemen dunia membentuk poros baru kesadaran global yang menegaskan bahwa penjajahan dan genosida tidak bisa lagi ditoleransi.

“Empati itu berubah menjadi energi politik dan moral untuk melawan kejahatan kemanusiaan yang sistemik dan melawan hegemoni yang selama ini membungkam suara kebenaran,” kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional (LHKI) PP Muhammadiyah itu.

Dalam gelombang kebangkitan itu, lanjut Sudarnoto, Indonesia berdiri di barisan depan, dengan landasan konstitusional ‘menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia.’

Indonesia memegang peran penting dalam menggalang kekuatan global untuk kemerdekaan Palestina. Gerakan masyarakat sipil, parlemen, dan diplomasi resmi Indonesia telah berulang kali menegaskan posisi yang tidak tergoyahkan bahwa perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan, dan diam terhadap penjajahan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani. MUI, ARI-BP, seluruh lembaga filantropi dan bela Palestina dan berbagai elemen Masyarakat Indonesia telah dan terus menunjukkan dedikasinya untuk bela Palestina.

Baca Juga  Pukulan Telak Israel-Amerika Serikat: Inggris, Australia, dan Kanada Resmi Akui Negara Palestina

Abraham Shield Plan: Manuver Politik Israel

Namun, di tengah perubahan besar tersebut, Sudarnoto menyoroti Abraham Shield Plan yang dipromosikan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu. Menurutnya, hal itu adalah manuver politik baru Israel.

“Di balik retorika “perdamaian” dan “stabilitas kawasan”, rencana ini sejatinya adalah jebakan geopolitik yang bertujuan memperluas legitimasi Israel di dunia Islam,” sebutnya.

Ia menilai, melalui skema Abraham Shield Plan tersebut, Netanyahu berusaha menciptakan zona aman bagi Israel dengan menyeret negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, untuk secara tidak langsung mendukung kelanggengan penjajahan dan pendudukan yang dilakukan Israel.

“Ini bukan rencana perdamaian, melainkan reinkarnasi kolonialisme yang disamarkan dalam diplomasi,” tandas Sudarnoto.

Kemajuan Politik dan Diplomasi Hamas

Di sisi lain, Sudarnoto menilai perkembangan politik menunjukkan bahwa Hamas, meskipun terus ditekan dan diserang, mulai membuka ruang diplomasi yang signifikan.

Kesediaan Hamas untuk menerima sejumlah poin dari 20 butir proposal yang diajukan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mencerminkan kemajuan politik dan diplomatik yang matang. Menurutnya, Hamas telah menunjukkan bahwa perjuangan mereka bukanlah fanatisme, tetapi komitmen untuk kemanusiaan dan keadilan.

“Langkah ini merupakan isyarat bahwa Palestina siap berjuang bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan diplomasi yang bermartabat,” sorot pria yang juga Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sudarnoto menegaskan, jika Israel benar-benar menyetujui langkah tersebut, maka tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan pendudukan. Israel, kata dia, harus meletakkan senjata, menarik seluruh pasukan dari wilayah Palestina, dan membebaskan seluruh tawanan, baik yang hidup maupun yang telah gugur.

Baca Juga  Belanja Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi Jatim Kuartal III

“Blokade terhadap Gaza harus diakhiri, dan tanggung jawab atas kehancuran yang ditimbulkan harus ditunaikan. Inilah ukuran sejati komitmen terhadap perdamaian,” tandasnya.

“Sejarah sedang menulis babak baru, di mana yang tertindas berdiri tegak, dan yang menindas mulai runtuh oleh beratnya kejahatan yang mereka lakukan sendiri. Abraham Shield Plan Netanyahu kehilangan makna dan legitimasi. Yang kini berlaku bukan lagi logika dominasi, melainkan logika kemanusiaan dan kebebasan,” tambah Sudarnoto.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *