Ecoenzyme: Cara Mahasiswa UMM Mengubah Limbah Jadi Peluang

Ecoenzyme: Cara Mahasiswa UMM Mengubah Limbah Jadi Peluang

MAKLUMAT – Di Dusun Mondoroko, Desa Banjararum, Singosari, tumpukan limbah organik sudah lama dianggap hal lumrah. Sisa sayuran dari pasar, ampas pertanian, hingga kotoran ternak hanya berakhir di tempat pembuangan.

Namun pada 6 Agustus 2025, sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) datang membawa ide sederhana. Mengubah limbah itu menjadi sesuatu yang berguna—bahkan bernilai jual—melalui ecoenzyme.

“Di sini bahan bakunya melimpah. Sayang kalau cuma dibuang,” kata Pandu Hiro Zaisan, koordinator Kuliah Kerja Nyata (KKN) UMM di dusun tersebut. “Kami coba memanfaatkannya jadi ecoenzyme,” ia menambahkan.

Manfaat Limbah

Ecoenzyme adalah cairan hasil fermentasi limbah organik, gula merah, dan air. Fungsinya beragam: dari pupuk tanaman, pengharum ruangan, hingga handsanitizer. Dengan pengolahan lebih lanjut, ia bahkan bisa menjadi cairan pel atau sabun cuci baju.

Mahasiswa KKN ini tak sekadar mengenalkan konsep. Mereka melatih warga tiap RT, terutama ibu-ibu, untuk memproduksinya sendiri. Harapannya sederhana: agar Mondoroko bukan hanya bebas dari timbunan sampah, tapi juga punya sumber penghasilan baru.

“Dulu sampah hanya numpuk. Sekarang bisa jadi sesuatu yang bermanfaat,” kata Pandu.

Solehudin, Kepala Dusun Mondoroko, menyambut baik inisiatif itu. Tapi ia mengingatkan, keberlanjutan adalah kunci. “Kalau cuma berhenti pas KKN selesai, ya susah. Harus terus dipantau,” ujarnya.

 

Bagi UMM, program seperti ini bukan kebetulan. Wakil Rektor IV, M. Salis Yuniardi, menegaskan KKN berdampak adalah bagian dari komitmen kampus. “Kami tidak ingin lulusan UMM hanya siap kerja. Mereka juga harus bisa jadi problem solver di tengah masyarakat,” katanya.

Baca Juga  Pemisahan Pemilu dan Risiko Keretakan Tata Kelola Politik

Pernyataan itu sejalan dengan arahan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek): setiap universitas dituntut menciptakan program unggulan di lokasi KKN. “Program yang kalau tidak ada mahasiswa, tidak akan jalan,” lanjut Salis. “Kampung Ecoenzyme ini salah satu contohnya,” jelasnya.

Bagi Mondoroko, ecoenzyme bukan sekadar cairan serbaguna. Ia adalah simbol perubahan: bagaimana limbah bisa diolah, dan bagaimana mahasiswa bisa meninggalkan jejak yang benar-benar terasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *