MAKLUMAT – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema). Keduanya adalah AS, mantan Direktur Polinema periode 2017–2021, dan HS, pemilik lahan yang dijual ke institusi tersebut.
Kasus ini berakar dari pembelian lahan seluas 7.104 meter persegi di Kelurahan Jatimulyo, Lowokwaru, Kota Malang, yang dilakukan pada 2019–2020. Harga tanah dipatok Rp6 juta per meter, dengan total nilai transaksi mencapai Rp42,6 miliar. Namun, proses pengadaan itu tidak melibatkan panitia resmi, dan tidak ada penilaian harga dari lembaga appraisal sebagaimana mestinya.
Yang lebih mencurigakan, negosiasi dilakukan langsung oleh AS kepada HS, bahkan ketika lahan tersebut masih berstatus Petok D—belum bersertifikat. SHM (Sertifikat Hak Milik) baru terbit pada 31 Oktober 2019. Namun, uang muka sebesar Rp3,87 miliar justru sudah dibayarkan pada 30 Desember 2020. Transaksi ini terjadi sebelum ada akta jual beli, bahkan tanpa surat kuasa dari para pemilik tanah.
Lebih lanjut, Kejati Jatim dalam keterangan resmi dikutip, Kamis (12/10/2025), menduga dokumen-dokumen administratif seperti SK Direktur, berita acara, dan akta jual beli dimundurkan tanggalnya (backdate), seolah-olah semua proses berjalan sesuai aturan. Fakta di lapangan menyatakan sebaliknya.
Permasalahan semakin pelik karena tanah tersebut berada di zona yang dilarang dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Malang—yakni sempadan sungai dan ruang manfaat jalan. Artinya, secara hukum dan teknis, lahan itu tidak layak untuk dibangun kampus.
Sampai akhir 2021, Polinema tercatat telah menggelontorkan dana sebesar Rp22,6 miliar kepada HS. Namun, hak atas tanah belum dikantongi negara dan belum masuk daftar aset. Bahkan sebagian uang dikabarkan dititipkan kepada notaris dan pihak internal Polinema untuk membayar BPHTB. Padahal, menurut UU, pengadaan tanah untuk kepentingan umum seharusnya bebas dari beban itu.
“Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp22,6 miliar,” kata sumber di Kejati Jatim.
AS dan HS ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Nomor: Kep-80/M.5/Fd.2/06/2025 dan Kep-81/M.5/Fd.2/06/2025. Keduanya resmi ditahan selama 20 hari ke depan mulai Rabu, 11 Juni 2025, sesuai Surat Perintah Penahanan Print-8477 dan Print-8499.
Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 KUHP. Ancaman hukumannya tidak main-main: maksimal 20 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.***