Etos Advokatif Gerakan Civil Society

Etos Advokatif Gerakan Civil Society

MAKLUMATGerakan civil Islam pernah dilabeli sebagai gerakan pembantu negara. Karena banyak pekerjaan negara tak bisa ditunaikan dengan baik atau bahkan terabaikan karena kapasitas negara dan kepemimpinan yang buruk.

Bahkan, kadang hadirnya organisasi masyarakat sipil yang memberikan pelayanan publik dan dasar dianggap sebagai kompetitor negara. Padahal faktanya, peran-peran organisasi tersebut bukan hanya komplementer (negara tidak memadai) tapi juga seringkali juga bersifat subtitutif (negara tidak hadir).

Dalam babakan sejarah kehidupan berbangsa, relasi antara aktor negara dan masyarakat menjadi seperti zero sum game—jika negara kuat, civil society melemah tanpa daya. Dan ketika negara berhenti bekerja melayani masyarakat, kelompok CSO mulai bekerja. Ada juga fenomena bagaimana negara mengkooptasi masyarakat sipil sebagai platform yang normal dalam membangun relasi politik patronase baik yang keras maupun yang halus.

Watak negara sebagaimana Max Weber katakan, yang memonopoli penggunaan kekerasan secara sah dapat menjadi brutal dan menindas tetapi juga dapat watak politik halus hegemonik dengan daya destruktifnya sudah ada dalam panggung sejarah di berbagai belahan bumi baik Utara maupun di Selatan.

Sayang, jika negara gagal kekuatan masyarakat sipil turut andil disalahkan. Padahal, pemusatan sumber daya ada di tangan negara sebagaimana yang berkewajiban mendistribusikannya secara adil.

Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kamakmuran rakyat (UUD 5 Pasal 33). Begitu bunyi konstitusi tapi faktanya kekuasaan itu didistribusikan tidak merata: oligarki diberikan lebih sehingga muncul tirani minoritas dalam ekonomi sebagai akibanta meluasnya ketimpangan dan pemiskinan.

besar besaran pada bumi, memproduksi keuntungan yang hanya dinikmati pihak lain di tempat lain sehingga warga lokal menjadi homo sacer, dikorbankan demi kesejahteraan orang atau kelompok di tempat lain. Kondisi ini juga menjadi bagian dari kutukan sumber daya alam atau paradok keberlimphan (paradox of plenty). Semakin ekstratif ekonomi sebuah negara, semakin banyak praktik kekerasan baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup (alam). Jika abaik kepada hak manusia maka juga akan lebih abai kepada hak hak lingkungan hidup.

Baca Juga  Songsong Pilkada 2024: Lamongan Butuh Sosok Out of The Box

Tantangan terbesar kontitusi kita yang sering dianggap hijau itu adalah bagaimana mempraktikkan ‘pembangunan’ yang ramah lingkungan sekaligus ramah manusia—dengan kata lain dalam konteks ini dapat mengacu pada pemikiran ekososialisme yang berakar pada nilai-nilai luhur kehidupan yang adil

Panggilan Aliansi CSO melalui bidang hukum ham dan hikmah bekerja menjahit kolaborasi advokatif baik dintingkat pusat maupun daerah untuk memastikan peran CSO tetap independen dan kontributif bagi pemulihan demokrasi dan hak hak sipil. CSO yang sehat juga dapat menjalani etos dan peran advokasi dan pendidikan politik secara maksimal khususnya di zaman yang disebut “senjakalah” dan “matinya demokrasi” subtantif.

Dari pengalaman menggelar CSO gathering di regional Jakarta dan Jawa Timur yang punya peta konflik SDA paling banyak di pulau jawa khususnya dunia tambang mineral dan agraria, pertemuan menghasilkan pemikiran yang bisa digunakan secara nasional apa yang perlu diperkuat dan apa saja pekerjaan mendesaknya.

Setidaknya ada sepuluh pemikiran yang saya sebut sebagai etos kerja advokatif CSO antara lain: (1)⁠ ⁠Pembaruan pemetaan konflik sebagai langkah strategis memperkuat koalisi masyarakat sipil dan meningkatkan kesadaran atas dampak kebijakan politik terhadap HAM dan lingkungan; (2).⁠ ⁠Penguatan agenda koalisi CSO untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Kemudian, (3) ⁠Kolaborasi untuk mitigasi praktik mengundang bencana alam dalam perizinan tambang yang merugikan masyarakat lokal di Jawa Timur; (4).⁠ ⁠Perlindungan kebebasan sipil dan akademik, khususnya dalam menghadapi ancaman dari UU TNI/RUU POLRI yang berpotensi melegitimasi represi kepada civitas akademica; (5).⁠ ⁠Reformulasi strategi gerakan masyarakat sipil demi penguatan demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca Juga  Peluang Indonesia Menjadi Destinasi Utama Wisata Halal Dunia

Selanjutnya, (6) ⁠Kritik terhadap proyek pembangunan bermasalah yang berdalih “percepatan pembangunan” namun justru merampas hak-hak Masyarakat lokal; (7).⁠ ⁠Membersamai warga yang mengupayakan ‘penolakan reklamasi’ dan perusakan uang hidup, serta mendorong kerja-kerja pemulihan ekosistem dan perlindungan mata pencaharian Masyarakat terdampak; (8).⁠ ⁠Penguatan peran masyarakat sipil lintas sektor, termasuk kampus, NGO, dan ormas, sebagai kekuatan utama dalam gerakan demokrasi dan pembaharuan sosial yang berkelanjutan.

Dan, (9), ⁠bekerja sama untuk mengkritisi dan mengevaluasi dan jika diperlukan melakukan judicial review dan sejenisnya terhadap UU dan atau regulasi bermasalah yang menjadi hambatan advokasi dan pintu masuk bagi beragam praktik penyalahgunaan kekuasaan. Yang terakhir (10) kolaborasi antara Kolaborasi antara kampus dan masyarakat sipil sebagai poros penting dalam memperkuat dukungan terhadap agenda advokasi warga, advokasi kebijakan, dan pemulihan demokrasi yang bermakna.

Menghadirkan Inklusifitas gerakan

Teologi al maun sebagai teologi bersolidaritas meniscayakan inklusifitas dan imparsialitas. Skat orgqnisasi menjadi tidak relevan ketika kebutuhan perlindungan kemanusian sebagai ruang bersama kwluatan masyarakat sipil.

Gerak memulihkan segala bentuk kerusakan di daratan dan lautan adalah karakter dakwah amar ma’ruf nahi munkar di era pembangunanisme-antroposentrik yang kian membengkak, kotor, menindas. Sebagai contoh fenomena “ruda paksa” berdalih Proyek Strategis Nasional yang merusak bumi dan ikatan sosial budaya komunitas adat masyarakat.

Narasi pembangunan yang diusung pemrakarsa proyek sering juah panggang dari api: “Klaim bahwa proyek-proyek ini membawa kesejahteraan adalah ilusi. Faktanya, di sekitar lokasi tambang Tumpang Pitu, angka kemiskinan justru meningkat 23% dalam 3 tahun terakhir, sementara akses fasilitas kesehatan dan pendidikan tetap minim.

Baca Juga  Civil Society Gathering Jawa Timur 2025: Muhammadiyah Galang Koalisi untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan

Pola perizinan yang tidak transparan dan partisipatif, dimana masyarakat hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Banyak kebijakan daerah cenderung meminggirkan hak-hak masyarakat adat dan lokal dengan dalih investasi dan pembangunan.

Muhammadiyah sebagai kekuatan CSO memiliki track record dalam kerja kerja advokasi sejak kelahirannya. “setelah teologi al-maun, lalu neo-al-maun untuk kelompok termarjinalkan. Kini Muhammadiyah berkiprah untuk zaman baru yaitu green al-maun—yaitu kerja dan ikhitar taawun untuk mengantisipasi meluasnya kemiskinan dan kemeralatan baru akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan aktifitas ekonomi dan tata kelola sumber daya alam yang buruk.

Pengelolaan sumber daya alam yang terbatas haruslah punya kekuatan etis yang kuat seperti peringatan filosofis Mahatma Gandhi: “bumi cukup menghidupi semua manusia, tetapi tidak cukup untuk satu orang serakah.”

 

 

*) Penulis: David Efendi, S.IP., MA
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *