Herwan SalehFENOMENA politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menghadapkan calon tunggal melawan kotak kosong kini menjadi tren. Kondisi itu mencerminkan pergeseran praktik politik uang (money politic) dari akar rumput kembali ke tangan elite politik.
Para elite partai politik tampaknya telah menemukan pola baru dalam mengatur strategi Pilkada. Praktik money politic yang sebelumnya melibatkan masyarakat kini kembali diarahkan ke tingkat elite. Cukup dengan pertemuan informal di meja kopi, ketua umum partai dan sekjen, bersama kolega politik lainnya, dapat bersepakat untuk mengusung calon kepala daerah yang akan melawan kotak kosong.
Dengan strategi ini, peluang masyarakat untuk terlibat dalam praktik “dosa besar” politik uang semakin tertutup. Tidak ada lagi pertanyaan “wani piro” karena hanya ada satu pasangan calon yang bersaing. Praktik money politic pun dapat ditekan karena tidak ada persaingan yang ketat dalam Pilkada.
Dalam situasi ini, elite pusat memiliki kontrol penuh dalam menetapkan tarif mahar politik bagi calon kepala daerah. Transaksi uang yang sebelumnya melibatkan masyarakat kini terjadi di antara para elite, menghilangkan peran masyarakat dalam praktik tersebut.
Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD, yang sempat diusulkan dengan alasan mengurangi praktik politik uang, kini semakin meredup. Namun, fenomena Pilkada dengan calon tunggal yang melawan kotak kosong justru semakin meningkat di berbagai daerah.
Meskipun masa pendaftaran calon kepala daerah di KPU provinsi dan kabupaten/kota belum dimulai, jumlah pasangan calon yang diperkirakan akan melawan kotak kosong terus bertambah. Pilkada di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) misalnya, berpotensi menghadapi situasi tersebut. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono, yang dideklarasikan oleh 12 partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, mungkin akan berhadapan dengan kotak kosong atau calon perseorangan.
Sementara itu, PDI-P yang saat ini berdiri sendiri tanpa cukup kursi untuk mengusung pasangan calon, diperkirakan akan menghadapi tantangan besar dalam Pilkada kali ini.
Fenomena serupa terjadi di Pilkada Bengkulu Utara pada tahun 2020, di mana calon tunggal melawan kotak kosong. Situasi ini diprediksi akan terulang kembali pada Pilkada berikutnya.
Herwan Saleh, S.IP., MAP, penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang dan Anggota LHKP PWM Bengkulu