
MAKLUMAT — Pada satu malam di Kampung Seruni, Don berdiri di panggung pertunjukan dengan tubuh tambunnya, menentang tawa para pengejek dan menantang batas rasa percaya dirinya sendiri. Tepuk tangan meledak. Ia menang. Ia berhasil. Namun pada saat yang sama, langit cerita di film Jumbo mulai kelam.
Disutradarai oleh Ryan Adriandhy dan diproduksi oleh Visinema Studio, film animasi Jumbo yang tayang perdana 31 Maret 2025 ini langsung merebut 4 juta penonton pada pertengahan April 2025. Bukan semata karena kualitas animasinya yang mengagumkan, tapi karena ia menyentuh—atau mengguncang—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nostalgia masa kecil.

Kisah Don, bocah yatim piatu berusia 10 tahun yang tumbuh bersama dongeng warisan orang tuanya, menjadi cermin dari generasi yang sedang mencari tempat dalam dunia yang keras. Buku dongeng itu bukan hanya milik Don, tapi milik kita semua yang pernah percaya pada keajaiban.
Namun, Jumbo tidak berhenti di keajaiban. Ada bagian cerita yang secara halus, nyaris tak disadari, membuka pintu kepada tafsir yang lebih gelap—sebuah perjanjian antara dunia nyata dan yang tak terlihat.
Ketika Don bertemu Meri—gadis dari dunia lain yang mencari kedua orang tuanya—terjalinlah kesepakatan. Jika Meri membantunya dalam pertunjukan seni, maka Don akan membantu Meri menyelamatkan roh orang tuanya yang ditawan oleh kepala desa. Perjanjian itu terdengar polos, bahkan mengharukan. Namun, benarkah demikian?
Di titik inilah, penonton dewasa mengernyitkan dahi. Sebab bagi sebagian masyarakat Jawa, struktur cerita ini sangat menyerupai narasi pesugihan: perjanjian antara manusia dan entitas tak kasatmata demi kekuatan atau keberuntungan, dengan kompensasi tertentu yang kadang tak masuk akal—tumbal.
Bila ditarik ke akar kebudayaan lokal, terutama di Tanah Jawa, pesugihan bukan sekadar mitos, tapi realitas simbolik yang masih hidup. Prof. Wasino, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang, menyebut bahwa konsep pesugihan berkembang sejak akhir abad ke-19, dipicu kecemburuan sosial dan ketimpangan ekonomi.
Masyarakat pun mencari jalan pintas menuju kesejahteraan. Maka lahirlah kisah-kisah tentang tumbal orang yang dibenci, tukar janin, jual diri kepada jin, bahkan memelihara tuyul. Semua demi satu hal: kekayaan instan atau kesuksesan instan —seperti dilakukan Don saat tampil dalam pentas seni..
Cerita Don dan Meri, dalam kacamata ini, tiba-tiba menjadi alegori —-cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) perikehidupan manusia yg sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran).
Meri menjanjikan kemenangan—Don memperoleh panggung dan kemasyhuran. Tapi ketika tiba giliran menunaikan janjinya, Don ingkar. Dan Meri, yang semula penuh kasih, berubah murka. Meski Meri tidak mengutuk Don, namun Mae dan Naurman berhasil mengingatkan Don.
***
Apakah sutradara Jumbo sedang menyisipkan mitos pesugihan dalam bungkusan dongeng anak-anak? Apakah film ini tak sadar telah mengulang narasi perjanjian mistis yang bertentangan dengan nilai-nilai religius, terutama Islam?
Dari sudut pandang teologi Islam, narasi pesugihan adalah bentuk syirik—dosa terbesar yang tak terampuni kecuali dengan tobat sejati. Dalam QS An-Nisa ayat 48 disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni dosa yang selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”*
Dalam kerangka ini, pesan dari film Jumbo memang perlu untuk diluruskan? Bukankah perbuatan syirik juga harus dijelaskan kepada anak-anak yang ikut menyaksikan film Jumbo?
***
Barangkali sutradara Film Jumbo mungkin tidak bermaksud menarasikan pesugihan. Tapi ia tanpa sadar menyentuhnya, dan dari situlah pentingnya membaca ulang dongeng yang kita wariskan pada anak-anak. Sebab di balik dongeng, tersembunyi nilai. Dan di balik nilai, hidup kepercayaan.
Dalam masyarakat yang masih akrab dengan dunia jin dan ritual, garis tipis antara dongeng dan mistik bisa sangat mudah dilangkahi.
Di tengah gemuruh tepuk tangan atas pencapaian Jumbo sebagai animasi karya anak negeri, kita perlu menaruh telinga dan hati pada bisik halus yang menyelinap di balik adegan-adegannya. Sebab, pesan itu bukan hanya tersirat—ia tersurat.
Bahwa kerja sama dengan makhluk tak kasatmata, entah disebut jin, peri, atau apa pun bentuknya, adalah jalan licin yang menyesatkan. Maka biarlah Jumbo menjadi pemantik diskusi, bukan sekadar tontonan manis.
Semoga para orang tua cukup bijak, tidak sekadar membiarkan anak larut dalam keajaiban animasi, tapi hadir—mendampingi, menjelaskan, menanamkan nilai. Sebab lebih dari sekadar hiburan, film adalah cermin dari nilai yang kita wariskan.
Selamat menyaksikan Jumbo, karya membanggakan anak bangsa, sambil tetap menjaga akal dan iman kita bersama.
__________________
*) Catatan Redaksi: Tulisan ini bertujuan sebagai kajian budaya dan tidak dimaksudkan untuk menuduh ataupun menjustifikasi isi film. Tafsir adalah hak setiap penonton. Namun, diskusi adalah hak masyarakat.
*) Penulis adalah wartawan senior tinggal di Kota Blitar, Jawa Timur