Film Pembantaian Dukun Santet Membangkitkan Bayang-bayang Kelam 1998

Film Pembantaian Dukun Santet Membangkitkan Bayang-bayang Kelam 1998

MAKLUMAT – Sebuah bab kelam dari sejarah Indonesia pada 1998  kembali mencuat ke permukaan. Bukan dalam ruang seminar atau buku sejarah, melainkan melalui medium yang lebih populer dan emosional: film horor.

Pembantaian Dukun Santet, film produksi Pichouse Films bersama MD Pictures, resmi sudah tayang di bioskop pada 8 Mei 2025. Film ini membawa kembali ingatan publik pada tragedi berdarah yang mengguncang Banyuwangi di akhir 1990-an—satu dari sekian peristiwa kekerasan paling misterius dan tragis di era Reformasi.

Film ini terinspirasi dari utas viral berjudul Lemah Santet Banyuwangi karya akun Jeropoint yang mengguncang media sosial pada Februari 2023. Utas tersebut mengungkap kisah horor lokal yang berpijak pada tragedi nyata. Cerita itu kemudian dikembangkan oleh Baskoroadi Wuryanto dan Andri Cahyadi menjadi skenario film berdurasi dua jam, dengan penyutradaraan oleh Azhar Kinoi Lubis—sutradara yang dikenal lewat sejumlah karya film bertema gelap dan spiritual.

Membangkitkan Bayang-bayang 1998

Tragedi Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi bukan sekadar mitos atau cerita rakyat. Antara pertengahan 1998 hingga awal 1999, ratusan orang dibunuh secara brutal oleh massa karena dituduh sebagai dukun santet. Para korban bukan hanya paranormal, melainkan juga tokoh masyarakat, guru ngaji, hingga orang tua yang tinggal sendiri. Mereka dihabisi secara sadis—dipenggal, dibakar, atau dibantai di tengah jalan, sering kali di depan umum.

Penelusuran berbagai organisasi hak asasi manusia menyebut bahwa aksi itu tidak sepenuhnya spontan. Dugaan adanya keterlibatan kelompok tertentu yang menjalankan misi sistematis pun sempat mengemuka. Namun hingga hari ini, kasus itu belum pernah benar-benar tuntas diusut. Tidak ada pertanggungjawaban, apalagi pengakuan resmi dari negara.

Baca Lainnya  Ribuan Pekerja VW Mogok, Tolak Potong Gaji dan Penutupan Pabrik

Film ini mencoba menyentuh luka itu. Alih-alih menyampaikan sejarah dalam gaya dokumenter, sutradara Azhar Kinoi membungkusnya dalam bentuk fiksi horor supernatural—namun tetap menjejak pada realitas kelam masa lalu. “ Karena peristiwa ini sangat dikenal, bukan hanya di kalangan Indonesia, tapi juga internasional. Film ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa tanpa kru dan para aktor yang juga sangat luar biasa,” ujar Kinoi dikutip dari keterangan resmi MD Pictures.

Film Pembantaian Dukun Santet mengambil latar sebuah pesantren di Banyuwangi pada tahun 1998. Kehidupan santri yang tenang mendadak terguncang ketika teror—baik dari makhluk gaib maupun dari manusia—datang bertubi-tubi. Pemilik pesantren menghilang secara misterius, sementara para guru dan santri dilanda ketakutan.

Tokoh sentral film ini adalah Satrio, seorang santri muda yang menjadi saksi mata dari kekacauan tersebut. Ketika pembunuhan brutal terjadi di sekelilingnya, ia juga dihantui oleh sosok misterius berpakaian hitam—dijuluki “ninja”—yang dipercaya sebagai pelaku pembantaian. Sosok ini bukan hanya pembunuh, tetapi juga menyimpan rahasia besar yang terhubung dengan sejarah pesantren itu dan tragedi yang lebih luas.

Satrio diperankan oleh Kevin Ardilova, didukung oleh deretan aktor muda dan senior seperti Aurora Ribero, Kaneishia Yusuf, Teuku Rifnu Wikana, dan Ariyo Wahab. Akting mereka dianggap mampu menghidupkan ketegangan sekaligus menyentuh emosi penonton.

Kontroversi dan Sensitivitas Lokal

Sebelum penayangannya, film ini sempat menuai kontroversi. Dilansir CNN Indonesia, Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Banyuwangi memprotes judul awal film yang dianggap mencoreng nama daerah. Menanggapi hal itu, MD Pictures mengganti judul menjadi Pembantaian Dukun Santet—merujuk pada istilah yang memang sudah jamak digunakan oleh media dan laporan investigatif sejak peristiwa 1998.

Baca Lainnya  Luluk Nur Hamidah Sebut Pilgub Jatim 2024 Harus Berlangsung Jujur dan Adil

Namun, protes ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana trauma lokal diolah menjadi karya budaya. Apakah publik sudah siap untuk mengingat? Ataukah sejarah seperti ini lebih nyaman disimpan dalam diam? Apa pun kontroversinya, film ini menandai keberanian industri perfilman Indonesia untuk menggali kembali sejarah yang penuh luka. Dengan pendekatan horor—genre yang akrab di masyarakat—Pembantaian Dukun Santet tidak hanya menghibur, tapi juga menjadi medium edukasi dan refleksi sosial.

Ketika lampu bioskop padam dan layar mulai menyala, penonton tak hanya menyaksikan fiksi. Mereka diajak masuk ke lorong gelap sejarah bangsa, di mana rasa takut bisa lebih mematikan dari logika, dan fitnah bisa menghapus nyawa dalam sekejap.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *