MAKLUMAT – Forum Politisi Muda Indonesia (FPMI) melalui Tim Hukum dan Advokasi menghadiri sidang uji materiil undang-undang (judicial review/JR) di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara nomor 164/PUU-XXII/2024, Selasa (3/12/2024).
Sidang tersebut dihadiri para pemohon, yakni Amul Hikmah dan Indri Hafsari serta kuasa hukumnya, yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh beberapa pasal dalam UU Nomor 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Pokok permasalahan dalam ketentuan tersebut adalah tidak adanya pembatasan masa jabatan bagi anggota dewan.
Salah satu kuasa hukum pemohon, HMI El Hakim SH MH menilai, tidak adanya pembatasan masa jabatan anggota dewan merugikan bagi para politisi muda dan menghambat regenerasi di tubuh Lembaga legislatif.
“Tidak adanya pembatasan masa jabatan anggota dewan jelas merugikan hak konstitusional bagi politisi muda yang berkontestasi melawan petahana bahkan mantan kepala daerah sehingga kompetisinya sangat tidak inklusif,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Maklumat.ID Selasa (3/12/2024) malam.
“Regenerasi dan kaderisasi politik sebagai karir yang profesional juga tidak jelas dengan tidak terbatasnya masa jabatan anggota dewan, sehingga kami memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa norma undang-undang yang tidak memberikan batasan masa jabatan dinyatakan inkonstitusional serta harus ada batasan masa jabatan agar tidak terjerumus pada absolutisme kekuasaan,” imbuh pria yang akrab disapa Hakim itu.
Sementara itu, Amul Hikmah (pemohon) berharap perkara tersebut bisa selesai serta diputuskan dengan adil dan bijak oleh MK sebagai pihak berwenang.
“Pada prinsipnya kami percaya bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan institusi yang punya kewenangan untuk menyelamatkan hak konstitusional kami melalui putusan yang mengabulkan bahwa harus ada masa jabatan anggota dewan,” ujarnya.
Amul juga merasa, hak konstitusionalnya sebagai pemilih juga dirugikan sebab keterbatasan opsi atau pilihan calon anggota dewan yang baru dan berkompeten.
“Kepentingan saya sebagai pemilih juga dirugikan dengan minimnya pilihan calon anggota dewan yang baru dan berkualitas, termasuk ketika saya hendak mencalonkan diri juga harus menghadapi petahana yang secara relasi kuasa punya modal senioritas,” sebutnya.
Senada, Indri Hafsari juga merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya. Sebab ketika mencalonkan diri sebagai kontestan dalam Pemilu 2024 lalu harus melawan kandidat petahana yang menurutnya memiliki relasi kuasa yang kuat.
“Saya mencalonkan diri di Pemilu 2024 harus berhadapan dengan petahana yang cenderung memiliki relasi kuasa dan zona nyaman di dapilnya, sehingga peluang saya untuk terpilih semakin kecil dan tidak dapat mengadvokasi kepentingan pemilih saya sebagai dewan,” ungkapnya.
“Besar harapan dari saya bahwa Mahkamah menerima permohonan kami untuk membatasi jumlah masa jabatan anggota dewan agar karir politik saya lebih jelas, memiliki kepastian hukum dan berkeadilan untuk generasi kedepan,” sambung Indri.
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang memimpin sidang tersebut mengatakan persoalan tersebut memerlukan argumentasi yang kuat dan lengkap.
“Mahkamah ini kan secara konsep negative legislator, meskipun dalam kondisi tertentu bisa melewati constitutional constraint yang hal ini perlu argumentasi yang kuat baik secara filosofis, yuridis dan empiris,” katanya.
Selain Arief Hidayat sebagai ketua panel, sidang juga dihadiri Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur sebagai hakim anggota.
Ketiga hakim panel MK tersebut memberikan apresiasi atas kesadaran bernegara dari para pemohon dengan mengajukan judicial review.
Ketiganya juga menyarankan supaya pemohon memperbaiki permohonannya agar lebih meyakinkan majelis hakim pada proses persidangan berikutnya hingga putusan.
Sekadar informasi, dalam perkara ini ketentuan di UU MD3 yang diajukan untuk diuji dengan konstitusi antara lain pada Pasal 76 ayat (4), 252 ayat (5), 318 ayat (4) dan 367 ayat (4) dengan batu uji Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2), 28J ayat (1) dan 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.