MAKLUMAT – Pemerintah boleh saja masih malu-malu mengumumkan tarif bea keluar atau pajak ekspor batu bara. Namun, Abdurrahman Arum sudah lebih dulu bersuara lantang.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih (Financial Research Center for Clean Energy/FRCCE) ini menyambut rencana kebijakan yang akan dirilis pada 2026 itu dengan kalkulasi matang.
Baginya, ini bukan sekadar kebijakan formalitas, melainkan momentum emas—untuk memperkuat pundi-pundi negara sekaligus membereskan polemik domestic market obligation (DMO) batu bara yang selama ini berlarut-larut.
Lembaga riset yang ia pimpin, Transisi Bersih, berdiri awal 2023. Think tank ini berfokus pada penelitian dan advokasi aspek ekonomi serta keuangan energi bersih di Indonesia. Didirikan oleh kolaborasi para peneliti senior dan junior, Transisi Bersih mengawal peralihan dari energi kotor ke energi bersih agar berlangsung efisien, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat serta lingkungan.
Rahman—sapaan akrab Abdurrahman Arum—tak main-main dalam usulannya. Ia dan timnya merekomendasikan tarif awal pajak ekspor batu bara sebesar 5–11 persen dari nilai ekspor. “Dengan tarif ekspor 5–11 persen, potensi penerimaan negara bisa mencapai 30 hingga 50 triliun rupiah di tahun pertama,” ujar Rahman dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
Menurutnya, angka tersebut cukup signifikan untuk memperkuat fiskal tanpa menimbulkan beban berlebihan bagi industri.
Usulan Rahman bukan tanpa dasar. Ia menyebut gagasan serupa telah tercatat dalam Laporan Panitia Kerja Penerimaan DPR RI pada 7 Juli 2025. “DPR mendorong pemerintah memperluas basis penerimaan negara melalui bea keluar emas dan batu bara,” katanya.
Jalan Mulus Pensiunkan DMO Batu Bara
Namun, visi Rahman jauh lebih besar. Ia memandang kebijakan pajak ekspor bukan semata alat pungut, melainkan jalan mulus untuk “memensiunkan” kebijakan DMO batu bara.
Selama ini, kebijakan DMO mewajibkan eksportir memenuhi kebutuhan pasar domestik dengan harga maksimal 70 dolar AS per ton. Rahman menilai sistem itu terlalu rumit dan sering menimbulkan ketidakseimbangan pasar.
Bagaimana caranya? Ia mengusulkan kenaikan bertahap tarif pajak ekspor hingga mencapai 30 persen.
Kalkulasinya sederhana. Jika harga pasar batu bara internasional berada di kisaran 100 dolar AS per ton, maka dengan tarif pajak ekspor 30 persen, eksportir hanya akan menerima 70 dolar AS per ton—angka yang sama dengan harga DMO. “Bagi pengusaha batu bara, menjual ke luar negeri dengan harga 100 dolar lalu kena pajak 30 persen, atau menjual di dalam negeri dengan harga 70 dolar, hasilnya sama saja,” jelas pria asal Jember, Jawa Timur ini.
Menurutnya, mekanisme ini akan membuat pasar menyesuaikan diri secara alami. Harga domestik akan stabil di sekitar 70 dolar tanpa perlu ada pemaksaan melalui regulasi DMO.
Rahman menyebut fenomena ini sebagai efek diferensiasi harga, di mana pasar internasional dan domestik mencapai keseimbangan. Negara pun diuntungkan dua kali: penerimaan fiskal meningkat, sementara pasokan dalam negeri tetap aman dengan harga terjangkau. “Ke depan, Indonesia tidak lagi memerlukan DMO. Kebutuhan dalam negeri terpenuhi dengan harga wajar, dan negara memperoleh bonus penerimaan tambahan,” pungkasnya. “Sekali dayung, dua pulau terlampaui”. ***