MAKLUMAT — Ketimpangan dalam isu Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) masih menjadi pekerjaan rumah yang besar di Indonesia. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Niki Alma Febriana Fauzi, menekankan pentingnya keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam mengarusutamakan GEDSI, termasuk para jurnalis di lingkungan Muhammadiyah.
“Masyarakat kita belum sepenuhnya terbuka dengan isu-isu seputar Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI),” ujarnya dalam forum daring bertajuk Mainstreaming GEDSI di Media: Mengembangkan Jurnalisme Inklusif. Diskusi ini digelar oleh Pimpinan Pusat Aisyiyah, Rabu (6/8/2025).
Menurut Niki, GEDSI menyangkut keadilan dalam pengelolaan ruang publik, kebijakan, serta cara pandang keagamaan. Ia menegaskan bahwa kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan minoritas kerap kali masih mengalami marginalisasi, baik secara struktural maupun kultural.
Salah satu contoh yang ia angkat adalah rumah ibadah. Meskipun beberapa masjid sudah mulai menyediakan akses yang inklusif bagi difabel, secara umum ruang-ruang keagamaan di Indonesia masih belum ramah bagi kelompok tersebut.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu menekankan bahwa masjid hanyalah salah satu dari banyak ruang publik yang belum sepenuhnya inklusif. “Meski demikian, kita sudah ada beberapa masjid yang telah ramah difabel. Tapi kalau kita lihat, secara umum belum ramah difabel,” jelasnya.
Ia mengutip riset Prof. Nico Kaptein dari Leiden University yang menunjukkan bahwa di Indonesia, suara pemuka agama masih menjadi otoritas yang paling didengar oleh masyarakat. Karena itu, menurutnya, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah perlu memainkan peran lebih aktif dalam mendorong nilai-nilai GEDSI masuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dalam konteks ini, peran media menjadi sangat krusial. Niki menyampaikan bahwa media, terutama yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, harus menjadi jembatan yang menyuarakan keadilan sosial, termasuk GEDSI. Ia tidak ingin isu-isu ini hanya menjadi slogan atau kampanye sesaat tanpa keberlanjutan narasi dan kerja nyata.
“Maka peran teman-teman jurnalis media afiliasimu sebagai corong komunikasi yang mewakili Muhammadiyah harus berkontribusi di situ. Isu-isu gender, disabilitas, dan inklusi sosial harus kita kerjakan bersama,” imbuhnya.
Oleh karenanya, Niki menyarankan agar pendekatan naratif terhadap GEDSI dilakukan melalui bahasa agama. Baginya, pesan keagamaan memiliki kekuatan tersendiri dalam mengubah cara pandang masyarakat, khususnya di Indonesia yang secara budaya masih sangat religius.
Ia menyinggung ayat Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya’ ayat 107: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Ia menafsirkan bahwa misi kenabian yang penuh kasih sayang ini tidak mengenal batas geografis, etnis, atau status sosial, termasuk kelompok rentan seperti difabel, perempuan, atau minoritas lainnya.
“Islam mengajarkan kita untuk mengasihi dengan terbuka kepada semua kalangan. Maka kelompok rentan pun juga termasuk di dalamnya. Semua adalah ciptaan Allah yang punya tanggung jawab dalam menebar rahmat ke seluruh alam,” tandasnya.