Generasi One Piece, Siapkah Kalian Jadi Motor Perubahan 2028?

Generasi One Piece, Siapkah Kalian Jadi Motor Perubahan 2028?

MAKLUMATSejarah negeri ini kerap bergerak seperti arus sungai yang tak pernah berhenti. Kadang deras menghantam tebing, kadang pelan mengalir di sela-sela batu. Tahun 1966, mahasiswa turun ke jalan, memaksa Orde Lama pamit dari panggung. Tiga puluh dua tahun berselang, 1998, sejarah kembali beriak. Orde Baru tumbang setelah mahasiswa tumpah-ruah di jalan-jalan kota, menggugat krisis ekonomi dan ketidakadilan.

Jika ditarik garis waktu, jaraknya hampir presisi: tiga dekade. Seperti kalender arisan yang datang rutin, meski kita sering pura-pura lupa. Karena itu wajar bila muncul pertanyaan: apakah 2028 akan menjadi siklus berikutnya?

Namun ada yang berbeda. Tahun 1966 kita dihadapkan pada isu G30S dan anti-komunisme. Tahun 1998 krisis moneter dan Tragedi Trisakti menjadi pemicu. Sekarang, 2025 menuju 2028, yang mengintai bukan sekadar krisis politik atau ekonomi. Yang paling terasa justru krisis moral. Pelan, sunyi, tapi menggerogoti fondasi.

Contoh terbaru datang dari Pati, Jawa Tengah. Rabu, 13 Agustus 2025, puluhan ribu orang turun ke jalan. Pemicu awalnya sederhana: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sampai 250% oleh Bupati Sudewo. Kebijakan itu memang dibatalkan, tetapi luka sudah telanjur terbuka. Dari urusan pajak, tuntutan melebar: pembatalan proyek videotron miliaran, penolakan pembongkaran masjid bersejarah, hingga desakan agar bupati mundur. Aksi damai berubah ricuh, korban jatuh, provokator bermain. DPRD membentuk Pansus Hak Angket. Dari soal pajak, gejolak berkembang menjadi persoalan legitimasi.

Baca Juga  Pilkada Lancar dan Kondusif, Wakil Ketua Komisi II DPR: Bukti Kedewasaan dalam Politik

Fenomena di daerah ini hanyalah potret kecil dari keresahan nasional. Anak-anak muda merespons dengan gaya mereka: mengibarkan bendera bajak laut One Piece, melempar sindiran lewat meme, atau menjadikan TikTok dan X (Twitter) sebagai medan perlawanan. Di balik guyonan itu, ada rasa muak: negara ini makin korup, pajak ditarik, tetapi rasa adil hilang entah ke mana.

Keresahan itu menemukan gema dalam suara tokoh bangsa. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, saat menerima Anugerah Hamengku Buwono IX di UGM (Desember 2024), menyebut Indonesia sedang mengalami “peluruhan etika”. Dari kasus MK, KPK, sampai KPU—semuanya soal moral yang runtuh. Dan yang paling mengkhawatirkan, bangsa ini sudah terbiasa. Pejabat jatuh karena skandal, diganti yang baru, publik lupa, lalu hidup berjalan seperti biasa.

Moral Adalah Fondasi

Padahal, moral adalah fondasi. Negara sebesar apa pun bisa keropos kalau etika publik runtuh. Apa yang kini kita lihat? Judi online yang merajalela, politik transaksional yang dianggap lumrah, gaya hidup hedon yang dipuja. Media sosial berubah menjadi panggung ketidaksopanan massal. Sosiolog menyebutnya anomie: masyarakat kehilangan arah.

Haedar mengingatkan, solusi tidak bisa sekadar politik dan ekonomi. Yang perlu dibenahi adalah kebudayaan: membangun generasi religius, cerdas, berkarakter. Generasi yang menegakkan kejujuran, gotong royong, dan keberanian moral.

Di sinilah pertanyaan penting muncul: apakah 2028 akan menjadi panggung kebangkitan generasi itu? Atau justru melahirkan generasi baru “penjual populisme murah”—pintar berjanji, piawai bermain di panggung media sosial, tapi miskin isi?

Baca Juga  Budi Arie Setiadi Diperiksa di Bareskrim Polri

Sejarah memang tidak pernah berulang dengan persis, tetapi polanya kerap mirip: krisis melahirkan gerakan, keterpurukan melahirkan perubahan. Tahun 1966 ada Tritura. Tahun 1998 ada Reformasi. Tahun 2028? Belum ada nama, belum ada slogan. Yang pasti, krisis moral sudah nyata.

Mahasiswa, sejak dulu, hampir selalu menjadi motor. Mereka punya energi, idealisme, dan keberanian yang tidak selalu dimiliki kelompok lain. Tetapi mungkin, kali ini tantangannya berbeda. 2028 bukan sekadar soal menjatuhkan rezim, melainkan membangun kembali moral bangsa yang keropos.

Indonesia hanya bisa berdiri tegak bukan karena kekayaan alam atau kuasa politik, melainkan karena akhlak yang dijaga. Sama seperti rumah tangga: bukan megahnya bangunan yang membuat bahagia, tetapi cara penghuninya saling menghormati, saling menjaga, dan saling percaya.

Pertanyaannya kini: apakah Generasi One Piece siap menjadi motor perubahan? Atau mereka hanya akan berhenti sebagai penonton yang bersorak di dunia maya, sementara sejarah lewat begitu saja di depan mata?

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *