Gus Mus Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Orang NU Kalau Ikut Dukung Berarti Tidak Ngerti Sejarah!

Gus Mus Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Orang NU Kalau Ikut Dukung Berarti Tidak Ngerti Sejarah!

MAKLUMAT — Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus menyatakan keberatannya terhadap rencana pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, dikutip dari laman resmi NU Online, Jumat (7/11/2025).

Menurut Gus Mus, banyak kiai dan warga NU yang mengalami perlakuan tidak adil selama masa pemerintahan Soeharto. “Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang. Adik saya, Kiai Adib Bisri, bahkan keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” jelasnya.

Ia juga mengisahkan bagaimana sejumlah ulama NU, seperti KH Sahal Mahfudh, menolak tekanan politik saat itu. “Kiai Sahal diminta jadi penasihat Golkar Jawa Tengah. Beliau tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” kenang Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu.

Menurutnya, banyak ulama dan pejuang bangsa yang berjasa besar namun keluarganya tak pernah mengusulkan gelar pahlawan, semata-mata menjaga untuk keikhlasan amal.

“Banyak kiai yang berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan supaya amalnya tidak berkurang di mata Allah. Menghindari riya’,” jelas Gus Mus.

Lebih lanjut, ulama yang juga merupakan Rais Aam PBNU 2014–2015 itu menilai, warga NU yang mendukung pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto berarti tidak memahami sejarah. “Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan, berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Baca Juga  Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar Garansi Menteri dari Muhammadiyah

Gus Mus mengingatkan berbagai tragedi yang menimpa warga NU pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Salah satunya peristiwa Losarang, Indramayu, saat Pemilu 1971, di mana warga basis Partai NU diintimidasi dan diteror.

Sebagai informasi, dinukil dari laman resmi NU Online, Ensiklopedia NU mencatat, jurnalis Panda Nababan dalam laporannya di Sinar Harapan menyaksikan langsung rumah-rumah warga dibakar dan masjid dirusak. “Warga Losarang meninggalkan rumah mendadak, di atas meja masih ada piring dan makanan membusuk,” tulisnya.

Selain itu, tercatat pula tragedi pembunuhan Kiai Hasan Basri di Brebes (1977) dan pembakaran 140 rumah di Asembagus, Situbondo, menjelang Pemilu tahun yang sama.

Muktamar Ke-29 NU di Cipasung (1994) pun tak luput dari tekanan politik. Upaya penjegalan Gus Dur dan kooptasi terhadap NU menjadi bukti kuat intervensi rezim Orde Baru.

Bahkan pada 1996, BJ Habibie—saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi—disebut pernah meminta Gus Dur untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU semata-mata “demi kepentingan NU.”

“Betapa sulitnya komunikasi antara NU dan pemerintah saat itu,” ujar Soetjipto Wirosardjono, seperti dikutip dalam buku Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar (2010) karya Choirul Anam.

Berbagai peristiwa tersebut, kata Gus Mus, menjadi pengingat bahwa sejarah kelam terhadap umat dan ulama tidak boleh dihapus, apalagi hanya demi kepentingan politik sesaat.

Baca Juga  27 Tahun Lengsernya Soeharto, Akhir Orba di Tengah Krisis Ekonomi, Politik, dan Demonstrasi 1998
*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *