25.4 C
Malang
Sabtu, Juli 27, 2024
KilasHadapi Neo Kolonialisme dengan Kedaulatan Politik dan Ekonomi

Hadapi Neo Kolonialisme dengan Kedaulatan Politik dan Ekonomi

Sumber daya alam tanah air keuntungannya masih minim untuk rakyat Indonesia. (Kelas Pintar)

KEBANGKITAN Nasional yang berpatokan pada 20 Mei 1908 itu tidak terjadi begitu saja. Diawali dari tumbuhnya pemikiran dan semangat generasi muda yang mendapatkan berbagai pendidikan dari luar negeri. Mereka didukung dengan kelompok pejuang di dalam negeri yang memiliki kesadaran akan pentingnya kemerdekaan.

Kedua kelompok ini kemudian berkumpul dalam sebuah semangat yang sama untuk lepas dari penjajahan. Sayangnya spirit itu sekarang mulai pudar. Generasi bangsa kini lebih banyak bergaya hidup hedon dan terjebak dalam materialisme alih-alih berjuang untuk membebaskan diri dari jebakan neo-kolonialisme.

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Muhammad Mirdasy menyampaikan, kolonialisme saat ini dilakukan tanpa mendatangkan pasukan. Tetapi mereka menjajah Indonesia melalui teknologi digital, sosial, budaya, dan politik. Bangsa Indonesia harus berjuang untuk terlepas dari penjajahan gaya baru ini.

“Berapa banyak intelektual kita, pemikir-pemikir kita, dan ahli-ahli di bidang teknologi tidak mendapatkan tempat yang layak di republik ini untuk mengembangkan kemampuannya. Itu menjadi sangat penting. Karena ke depan kita tidak hanya akan menghadapi pertempuran secara fisik melainkan pertempuran lewat dunia maya yang tak terkendali. Betapa sepele tentang data keamanan rakyat-rakyat kita saja tidak teramankan dengan baik. Contoh yang paling nyata adalah para pemimpin dan penentu kebijakan ini tidak pernah terpikir bahwa data-data kita di dunia digital sudah diacak-acak orang lain,” kata putra KH Abdurrahim Nur itu.

Generasi muda harus menjadi kelompok prioritas yang dilindungi dari ancaman neo kolonialisme. Indonesia saat ini memiliki kelebihan demografi generasi muda. Kelebihan tersebut akan sangat menguntungkan bagi negara. Bahkan diprediksi bisa mencapai kejayaan di tahun 2045, yang dikenal sebagai Indonesia Emas. Namun, harapan itu tak akan tercapai jika intelektualitas dan moralitas remaja rusak akibat neo kolonialisme.

“Apakah setelah 100 tahun kemerdekaan Indonesia, kita bisa membayangkan bagaimana anak-anak bangsa yang tumbuh hari ini kalau tidak diatur dan dibekali ilmu pengetahuan yang cukup? Maka ingat, kebangkitan pada 1908 adalah berasal dari anak-anak muda terdidik. Artinya kita harus siap untuk menghadapi dunia ke depan yang jauh lebih kompleks. Tanpa kesungguh-sungguhan kita, saya yakin bangsa ini akan rapuh dan tidak memiliki kekuatan,” simpulnya.

Ketua LHKP PWM Jatim M. Mirdasy

Kuli di Negeri Sendiri

Maka dari itu, para pejabat pengambil kebijakan harus merancang dengan serius kebangkitan bangsa menghadapi 100 tahun kedua. Jika tidak dipersiapkan, dikhawatirkan anak-anak bangsa di masa depan akan menjadi kuli di negeri sendiri, terjajah oleh neo kolonialisme. “Kalau kita tidak segera berbenah, saya khawatir itu akan bisa meruntuhkan semangat berbangsa dan bernegara kita,” katanya.

Sayangnya, kebanyakan para pejabat justru tidak menggunakan kewenangannya dengan benar. Di dalam dunia politik saat ini, ramai para pemangku kekuasaan yang memperlihatkan dan memperkaya diri sendiri dengan cara tidak benar. Bahkan, politik Indonesia sekarang sudah mengarah kepada destruktivisme sosial. Tidak ada lagi kesatuan visi dalam berbangsa.

“Ini sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan kebangsaan. Oleh karena itu tidak salah ketika orang mengkhawatirkan Pemilu 2024 akan menghasilkan politisi yang lebih keras, lebih culas dan lebih menyakiti hati rakyat dari Pemilu-pemilu sebelumnya. Sudah menjadi rahasia umum, betapa setiap Pemilu kita selalu dipertontonkan bahwasannya orang yang menyuap itu lebih membanggakan daripada orang yang bersih tanpa suap. Rakyat juga menikmati itu, seluruh anak bangsa menjadi penikmat sifat koruptif itu,” ujarnya.

Dikatakan, rakyat tidak lagi memilih pemimpin yang jujur dan adil. Tetapi malah menghadirkan pemimpin yang manipulatif. Karena mereka mengedepankan materi daripada kualitas pemimpin. Oleh karena itu ada beberapa orang yang menghendaki perubahan kemudian berpikir bahwa pemimpin diktator yang baik lebih penting daripada pemimpin demokratis yang lemah. Karena tidak tegasnya pemimpin membuat kejahatan menjadi merajalela.

“Di Nusantara ini masyarakatnya agak berbeda dengan di Negeri Paman Sam. Di Amerika itu rakyat boleh brengsek semua. Yang namanya berbuat buruk asal tidak merugikan orang lain dibolehkan, tetapi pemimpinnya harus bersih. Betapa kemudian seorang mantan presiden di Amerika bisa dihukum sedangkan di sini mantan presiden boleh kebal hukum. Jadi ketika ketidakpercayaan masyarakat meningkat kepada pemerintah karena pemerintah itu tidak menunjukkan teladan yang baik,” paparnya.

“Indonesia telah kehilangan suri tauladan dari para pemimpinnya. Banyak orang berakhlakul karimah yang justru tidak diberikan tempat. Di dunia politik yang saya geluti semakin banyak saja orang yang menunjukkan sifat-sifat culas dan koruptif. Melakukan hal-hal manipulatif terhadap rakyatnya, bahkan dia dengan terang-terangan memamerkan kebodohan, apakah itu kebodohan dari sisi pengetahuan, kebodohan dari sisi dia mendapatkan harta, kebodohan perilakunya yang tidak dibenarkan dalam hukum, malah mendapat tempat lebih,” sambungnya.

Politik yang culas juga akan berakibat terhadap pembentukan undang-undang yang tidak pro rakyat kecil. Maka tak heran jika di negeri ini ada undang-undang yang justru mengundang bangsa luar melakukan neo kolonialisme. Lebih dari itu, Bangsa Indonesia tidak hanya butuh undang-undang yang pro rakyat, namun juga pro terhadap generasi anak-cucu di masa depan.

“Karena peran politik yang begitu besar, maka kesadaran politik harus ditanamkan kepada setiap warga negara. Tidak ada hari tanpa politik. Tidak ada menit dan detik tanpa politik. Begitu kita bangun tidur memutuskan untuk ke kamar mandi, melakukan aktivitas mandi adalah bagian dari politik. Bahkan listrik di rumah, berapa harganya itu juga adalah politik. Apalagi kemudian kita berkendara di luar, apakah menggunakan mobil ataukah kendaraan lain itu adalah politik. Pajak yang dikenakan kepada kita adalah politik. Makan termasuk politik, itu semua diputuskan oleh politik. Itulah mengapa ada bangsa yang bisa memakmurkan rakyatnya karena keputusan politiknya bagus,” tandasnya.

Demokrasi dan Mobokrasi

Untuk mencapai kebangkitan politik, maka yang paling utama dibutuhkan adalah pemimpin berkualitas. Menurut dia, ada tiga indikator yang perlu dilihat dalam memilih pemimpin. Pertama, pemimpinyang bukan hanya bercitra baik namun juga teruji. Pemilihnya juga harus cerdas dan berakhlak. Bukan memilih karena iming-iming materi, melainkan menggunakan rasionalitas dan perasaan.

“Di dalam demokrasi bisa saja terjadi mobokrasi. Dan mobokrasi bisa melahirkan mobokrasi lain. Mobokrasi sendiri melahirkan pemimpin yang buruk dipilih oleh orang-orang buruh sehingga menjadikan negara semakin buruk. Problem demokrasi saat ini adalah ketertinggalan pendidikan dan kesenjangan ekonomi. Rp 100 ribu di Jakarta dengan Rp 100 ribu di Trenggalek mungkin berbeda sekali, dan itu berisiko. Demokrasi juga membutuhkan kesetaraan informasi. Banyak sumber informasi terbuka kepada masyarakat. Kita berharap bahwa masyarakat kita semakin hari semakin melek dan semakin paham,” urainya.

Indikator kedua, yaitu pemimpin yang memiliki semangat untuk melihat Indonesia di masa depan. Dia harus mampu berpikir untuk merancang visi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun bahkan sampai 100 tahun ke depan. Ketiga, kesungguhan dan keseriusan seorang pemimpin yang baik.

“Itu karena bangsa kita ini terlalu cepat lelah dan cepat melupakan hal yang buruk. Dan sebenarnya ini bukan hal baik. Dahulu orang meyakini sistem yang baik melahirkan orang baik. Namun kenyataannya KPK manakala diisi oleh orang yang tidak baik berubah menjadi tidak baik. Maka dari itu, sistem yang baik harus diimbangi dengan orang yang baik. Karena faktanya KPK kita harap mampu menangkap pelaku korupsi, begitu diisi oleh orang yang tidak berkapabilitas yang dilakukan justru menangkap lawan politik. Kemampuan untuk menghukum koruptor semakin rendah sehingga kepercayaan masyarakat menurun,” kritiknya. (*)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Matan Edisi Mei 2023

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer