POLITIK menurut trias politika Montesquieu mencakup tiga komponen: eksekutif yaitu pelaksana undang-undang (presiden dan menteri-menteri), legislatif yaitu pembuat undang-undang (MPR dan DPR), dan yudikatif atau kehakiman yaitu pengawas eksekutif dan legislatif dalam pelaksanaan undang-undang.
Politik berarti pemerintah yang dalam Bahasa Arab disebut al-Hukûmah atau al-Hakam, dan dalam Bahasa Inggris disebut government. Selain itu politik juga disebut as-Siyâsah yang berarti siasat, taktik atau strategi untuk memperoleh kekuasaan.
Bagaimana hukum politik menurut pandangan Islam?
Hukum pemerintahan, kekuasaan dan kedaulatan dalam Islam adalah wajib. Karena dalam politik ada nashbu al-Hukûmah/al-Imâmah yaitu mendirikan pemerintahan. Dari mana kita menarik kesimpulan hukum wajib ini? Sebenarnya Rasulullah sendiri di masa hidupnya selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, beliau juga seorang hakîman zamâniyan (kepala negara) yang mengatur sebuah sistem pemerintahan di negara Islam Madinah.
Ketika Rasulullah wafat, beliau langsung digantikan oleh sahabat lain yang disebut sebagai Khalifah. Dalam Sejarah Islam, ada empat khalifah pengganti Rasulullah. Yang pertama bernama Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Para khalifah ini bertugas menjalankan sistem pemerintahan di kota Madinah dan wilayah-wilayah Islam lainnya. Jadi selain mengurusi urusan agama, mereka juga mengurusi urusan duniawi yang meliputi sosial, politik, ekonomi dan stabilitas keamanan. Maka setelah melihat fakta sejarah ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pemerintahan, kekuasaan atau kedaulatan dalam Islam hukumnya adalah wajib.
Dalil yang memperkuat pendapat ini dari al-Qur’an adalah firman Allah:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِـمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ (سورة المائدة: 49)
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka.”
أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ (سورة النساء: 59)
“taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”
Pada ayat pertama Allah memerintahkan kita untuk menghukumi urusan-urusan kita dengan menggunakan petunjuk Allah yang adil. Bagaimana caranya kita akan menghukumi kalau tidak menjadi pemerintah?! Pada ayat kedua umat Islam diwajibkan menaati Allah, Rasul dan ulil amri. Ulil amri yang dimaksud pada ayat tersebut adalah pemerintah. Sekali lagi ini menegaskan bahwa sebenarnya hukum berpolitik dalam Islam adalah wajib.
Kita patut bersyukur karena hari-hari ini ada beberapa partai politik di Indonesia yang secara terang-terangan mewakili umat Islam. Mereka barusaha untuk menjalankan syariat Islam melalui pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Kalau kita bersikap apatis dan tidak perduli dengan dinamika perpolitikan di tanah air nanti akan dikuasai oleh orang-orang non muslim yang anti Islam. Lebih parah lagi kalau yang berkuasa nanti adalah orang-orang ateis, kafir, munafik yang zalim dan jahûl (bodoh sekali).
Maka menurut pandangan saya, wajib bagi umat Islam untuk berpolitik. Kalau sudah ada sebagian umat Islam yang terjun di dunia politik maka yang lain sudah tidak wajib. Tapi kalau tidak ada yang mau berpolitik, maka semuanya berdosa. Karena di dalam politik itu terdapat kemaslahatan dan kemudharatan umat Islam dan bangsa Indonesia. Lewat politik kita bisa mengatur kebijakan publik yang mengatur hajat hidup orang banyak terkait kesejahteraan rakyat, ekonomi, kerukunan beragama dan hal-hal positif lainnya.
Dalam berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan bisa benar atau salah tergantung dari niat orangnya. Sama halnya dengan hijrah. Jika seorang muslim berhijrah dari suatu tempat ke tempat lain karena niatnya tulus demi Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan Ridha Allah dan kebenaran Rasul-Nya. Tapi kalau niatnya untuk berdagang, maka dia hanya mendapatkan untung perniagaan saja, dan tidak mendapat Ridha Allah dan Rasulul-Nya. Kalau niatnya untuk mendapatkan kekayaan, dia akan mendapatkannya tapi tidak mendapat Ridha Allah dan Rasul-Nya. Jadi, apabila seseorang berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, agama Islam dan rakyat maka itu adalah jihad fi sabilillah.
Sebenarnya menurut Islam sejak zaman khulafaurrasyidin orang yang dipercaya untuk memilih pemimpin, presiden atau kepala negara itu adalah ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi yaitu beberapa orang-orang ngerti yang alim, bijak, bersih dan netral. Tapi kenyataannya di zaman sekarang ini kita menganut sistem demokrasi, maka seluruh rakyat bisa memilih secara langsung perwakilan mereka yang akan menduduki kursi jabatan strategis di pemerintahan mulai dari DPR, MPR hingga presiden.
Ternyata dalam praktek pemilihan umum ini banyak dari para calon pemimpin yang bersaing untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat, sehingga mereka terkadang memberikan hibah untuk mendapatkan suara dari calon pemilih. Di sini kita perlu melihat situasinya, sebab dan musababnya serta maslahat dan mudharatnya.
Pertama, hal itu hukumnya haram kalau harta yang akan diberikan kepada para calon pemilih itu adalah harta haram yang diperoleh dari korupsi, mencuri dan menipu.
Kedua, kalau hal itu hanya semata-mata untuk kepentingan duniawi dirinya. Tetapi hal itu bisa menjadi suatu kebaikan, bahkan Jihâd bi al-Mâl (jihad harta) kalau ternyata umpamanya semua lawan-lawan politik kita ini melakukan hal itu dan mereka itu orang-orang yang anti Islam, kafir, komunis, zalim. Dan kita ingin menegakkan keadilan, tapi ternyata banyak di antara para calon pemilih kita itu orang-orang bodoh dan tidak mengerti. Mereka hanya mau memilih calon pemimpin yang memberi uang. Maka kita diperbolehkan memberi uang kepada mereka untuk kebaikan. Jangan sampai orang-orang kafir dan zalim yang menang dan terpilih menjadi anggota dewan atau presiden itu karena mereka memberi uang kepada para pemilih. Jika orang Islam yang akan dipilih tidak memberi uang maka dia akan kalah dalam kontestasi politik.
Jadi hibah politik diperbolehkan asal dengan dua syarat di atas, yaitu lawan-lawan politik kita dari kalangan non muslim yang anti Islam, kafir dan zalim. Kemudian kita melakukan hal itu demi menegakkan keadilan dan syariat Islam di masyarakat, bangsa dan negara. (*)
KH. Drs. Muhammad Dawam Saleh, Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah Sendang Agung, Paciran Lamongan