MAKLUMAT — Bagi umat Islam, ada satu doa yang menjadi cita-cita terbesar: meninggal dalam keadaan husnul khotimah.
Kalimat ini bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah doa yang penuh makna, dengan harapan agar saat menghembuskan napas terakhir, kita masih teguh memeluk agama, tetap berserah diri kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an, QS Al-A’raf: 126, doa ini diungkapkan dengan kalimat, “Rabbana afrigh ‘alayna shabran wa tawaffana muslimin,” yang artinya, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim.”
Husnul khotimah bukan hanya doa di bibir, melainkan sebuah perjuangan hingga akhir hayat. Seperti halnya seorang presiden yang berharap akhir masa jabatannya penuh berkah, penuh penerimaan, dan diingat karena kebaikan.
Menjelang akhir masa baktinya, Presiden Joko Widodo mungkin telah banyak melafalkan doa husnul khotimah dari panggung politik. Di tanggal 20 Oktober 2024, catatan sejarah akan mencatatkan titik akhir bagi Jokowi sebagai Presiden Indonesia.
Ia telah menorehkan sejarah, membawa negara ini melalui berbagai perubahan, seperti pelari maraton yang akhirnya mencapai garis finish.
Dalam perjalanan politiknya, Jokowi mencatatkan kisah yang penuh lika-liku; dari wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi presiden dua periode. Namun, apakah semua ini menuju husnul khotimah politik?
Sebagai Wali Kota Solo, Jokowi menghadirkan konsep “Solo: The Spirit of Java*,” dan dengan cara yang unik, ia mengatur ulang wajah kota. Merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari misalnya, dilakukan hampir tanpa gesekan.
Mengedepankan dialog dan pendekatan “nguwongke wong” atau memanusiakan manusia, Jokowi menggagas kebijakan yang menyentuh hati, membangun citra kota sebagai “kota budaya” dan “kota batik” dengan acara-acara besar seperti Solo Batik Carnival.
Sebuah gaya kepemimpinan yang menunjukkan karakter kuatnya sebagai pemimpin rakyat. Kemudian, di panggung DKI Jakarta, Jokowi tampil dengan kebijakan populis.
Program Kampung Deret *, Kartu Jakarta Sehat, dan Kartu Jakarta Pintar, semuanya memperlihatkan bagaimana politik bisa menyentuh manusia di jalan-jalan sempit ibu kota.
Tak hanya itu, proyek MRT Jakarta dan peremajaan armada Transjakarta adalah bukti komitmennya untuk membangun transportasi publik yang lebih baik.
Lalu, saat ia menjabat sebagai presiden, seluruh negeri disaksikan bagaimana pembangunan infrastruktur besar-besaran dimulai; jalan tol, bandara, dan pelabuhan menjamur. Seolah menjadi monumentum yang membingkai mimpi besarnya untuk Indonesia.
Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi berhasil menurunkan inflasi dan angka kemiskinan, meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan mengurangi prevalensi stunting.
Namun, semua ini diimbangi oleh kontroversi; kebijakan-kebijakan yang diperdebatkan di ruang publik dan koridor kekuasaan. Di satu sisi, ada pujian yang menyebutnya “Bapak Infrastruktur” karena keberhasilannya menghubungkan Nusantara dengan jalan-jalan baru.
Dua mercusuar Jokowi adalah berhasil melewati badai Covid-19, dan penetapan Ibu Kota Nusantara (IKN). Justru IKN yang menyeret Jokowi pada nafsu kekuasaan. Jelang akhir masa tugasnya yang sempurna, satu langkah Jokowi mengejutkan.
Ibarat pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” Jokowi yang dahulu menegaskan tidak ingin anak-anaknya terjun ke politik, justru memberi restu kepada putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024.
Dalih majunya Gibran adalah agar program-program besar Jokowi bisa diteruskan Prabowo-Gibran. Justru karena “Gibran” itulah susu sebelanga yang sudah dibangun Jokowi rusak. Nafsu mewariskan kekuasaan menjadi sebuah paradoks dalam kisah kesederhanaan Jokowi.
Kisah “kesederhanaan” yang dulu dipotret dengan gambaran Jokowi dan Iriana yang naik pesawat kelas ekonomi saat kampanye Pilgub DKI, kini pudar oleh berita-berita anak dan menantunya yang terbang dengan jet pribadi. Nasi sudah menjadi bubur, kata orang.
Majunya Gibran, yang sempat diawali drama gugatan usia di Mahkamah Konstitusi, ternyata berdampak lebih luas dari yang diperkirakan. Pasangan Prabowo-Gibran yang akhirnya memenangkan Pilpres, membawa Jokowi pada sorotan yang berbeda.
Publik merasa ada jarak yang makin lebar antara “kesederhanaan” yang ditunjukkan di awal karier politiknya dan kenyataan politik hari ini. Gelombang unjuk rasa besar-besaran RUU Pilkada pada Agustus 2024 hanya menambah beban di pundak Jokowi yang tinggal menghitung hari masa jabatannya.
Beberapa suara meminta Jokowi untuk “mandito ratu,” menanggalkan kekuasaan seperti raja-raja Jawa yang memilih menjalani kehidupan zuhud, menjauhkan diri dari dunia.
Saat banyak orang di negeri ini kena PHK, anak sulungnya sudah menjadi wakil presiden, anak bungsunya ketua partai, menantunya sebentar lagi mungkin gubernur. Apa lagi yang dicari? Barangkali, saat inilah saat terbaik bagi Pak Jokowi untuk mencari husnul khotimah politik.
Ketika semua ambisi telah terwujud, semoga Pak Jokowi bisa menutup babak ini dengan doa, “Allahumma ahsin ‘aaqibatana fil umuuri kullihaa wa ajirnaa min khizyid dun-yaa wa ‘adzaabil aakhirah,” yang artinya, “Ya Allah, baguskanlah akhir dari segala urusan kami dan hindarkanlah kami dari kehinaan godaan dunia dan siksa di akhirat nanti.”
Semoga akhir masa jabatan Presiden Jokowi berakhir dengan husnul khotimah. Aamiin.
Penulis:Edi Purwanto
*diolah dari berbagai sumber