MAKLUMAT – Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan bukan lagi isu pinggiran. Dampaknya yang meluas telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, dua organisasi Islam yang berusia lebih dari seabad, melangkah dengan komitmen baru di tengah tantangan global perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Melalui gerakan nasional “Islamic Green School”, mereka menanamkan praktik keberlanjutan dalam dunia pendidikan. Peluncuran Buku “Islamic Green School: Pedoman Praktis Sekolah Ramah Lingkungan” menandai langkah strategis ‘Aisyiyah ini.
Acara yang digelar jelang Tanwir I ‘Aisyiyah di Aula Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (7/1), dihadiri oleh 82 peserta dari berbagai lembaga dan organisasi otonom Muhammadiyah. Lebih dari 400 peserta lainnya bergabung secara daring dari seluruh Indonesia.
Prof. Masyitoh Chusnan, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, menyebut buku panduan ini sebagai tonggak penting di tengah gempuran globalisasi yang mempercepat degradasi lingkungan.
“Ibu-ibu ‘Aisyiyah adalah ujung tombak dakwah lingkungan. Buku ini diharapkan menjadi pedoman guru dalam mengenalkan isu lingkungan sesuai usia anak didik,” ujarnya.
Buku ini, lanjut Prof. Masyitoh, bukan sekadar dokumentasi, melainkan aset intelektual yang akan terus relevan. Peluncuran buku juga menjadi bagian dari syiar Tanwir I ‘Aisyiyah yang bertemakan “Dinamisasi Perempuan Berkemajuan Mewujudkan Indonesia Berkeadilan”, yang akan berlangsung pada 15-17 Januari 2025.
Sekolah Sebagai Rumah Hijau Kedua
Dr. Fajar Riza Ul Haq, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, menekankan pentingnya kesadaran ekologis di sekolah. “Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Kesadaran lingkungan harus ditanamkan agar mereka memahami ancaman eksistensial seperti pemanasan global,” ujarnya.
Ia mencontohkan dampak nyata perubahan iklim seperti banjir di Abu Dhabi dan gangguan cuaca ekstrem saat ibadah haji. Pendidikan lingkungan hidup, menurut Fajar, perlu melibatkan aksi nyata. “Anak-anak harus belajar memahami, beraksi, dan berbagi pengalaman mengatasi perubahan iklim. Mitigasi dan adaptasi harus menjadi bagian dari keseharian mereka,” tegas Fajar saat memberi sambutan peluncuran buku Islamic Green School.
Prayoga Rendra Vendiktama dari Kemendikdasmen menambahkan bahwa pendidikan iklim harus berorientasi pada tiga pilar: pemahaman, tindakan, dan berbagi. “Setiap sekolah dapat memulai dari kegiatan kecil seperti memilah sampah dan hemat energi, yang kemudian meluas menjadi gerakan kolektif,” jelasnya.
Ibu-Ibu dan Peran Kelola Sampah
Andina Novita Tas’ang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga adalah tantangan besar. “Sampah makanan adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Edukasi sejak dini tentang pengurangan sampah harus melibatkan seluruh ekosistem sekolah,” katanya.
Ia menekankan bahwa gaya hidup minim sampah dapat dimulai dari rumah. “Jika setiap individu sadar dan tahu cara mengolah sampahnya, perubahan besar akan terjadi,” tambahnya.
Rahmawati Husein, Ketua LLHPB PP ‘Aisyiyah, menyoroti pentingnya Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) untuk melindungi komunitas sekolah dari bencana hidrometeorologi yang semakin sering terjadi. “Investasi pendidikan harus dilindungi dari risiko bencana. SPAB adalah wujud pemenuhan hak anak atas keamanan di sekolah,” jelasnya.
Menurutnya, kesiapan sekolah menghadapi bencana mencakup fasilitas yang aman, manajemen bencana, dan kurikulum pencegahan risiko. “Kerugian akibat bencana bisa menghancurkan inisiatif pendidikan yang telah dibangun bertahun-tahun dalam sekejap,” tegas Rahmawati.
Panduan Praktis dari Buku Islamic Green School
Buku “Islamic Green School” dirancang sebagai panduan sistematis bagi sekolah dan pesantren untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam praktik ramah lingkungan. Berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, buku ini membahas langkah-langkah implementasi, tantangan, serta contoh praktik terbaik seperti penggunaan energi terbarukan dan pengelolaan limbah.
Amalia Nur Milla dan Dyah Lyesmaya, tim penulis buku, menegaskan bahwa panduan ini mengadopsi nilai-nilai ideologis Muhammadiyah. “Langkah pertama adalah melakukan penilaian awal sekolah, membentuk tim green school, dan menyusun rencana aksi lingkungan,” ujar Dyah.
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah pada akhir acara, menegaskan bahwa buku ini harus melahirkan gerakan nyata. “Islamic Green School bukan hanya konsep, melainkan aksi. Keterlibatan seluruh elemen sekolah dan masyarakat sekitar adalah kunci keberhasilan,” tutupnya.