Janda dalam Belenggu Stigma Negatif

Janda dalam Belenggu Stigma Negatif

MAKLUMAT — Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 telah terjadi kasus perceraian sebanyak 399.921 di Indonesia (BPS, 2025). Artinya, sebanyak 399.921 perempuan yang beralih status menjadi janda di Indonesia. Celakanya, perempuan yang menjadi janda sering mendapatkan stigma negatif di masyarakat.

Semisal, janda dianggap sebagai perempuan genit, suka menggoda suami perempuan lain, tidak mampu mempertahankan rumah tangga, dan lain- lain. Bahkan, bercandaan perihal status janda menjadi suatu hal sering terjadi di masyarakat Indonesia. Candaan tersebut kerap terjadi di kehidupan sehari-hari maupun di ranah media sosial.

Seorang janda sudah mendapatkan beban berat karena harus bekerja keras mencari uang untuk menghidupi diri sendiri. Beban itu bertambah jika mantan suami tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya.  Ditambah lagi harus menanggung beban sosial akibat stigma negatif dari masyarakat. Mendapatkan beban yang bertubi-tubi, seperti kata pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Kekuatan Sosial

Stigma negatif janda sudah melekat di ingatan masyarakat. Maka, tugas para perempuan adalah bekerjasama menjadi sebuah kekuatan sosial untuk melakukan perlawanan sosial atau counter social terhadap stigma negatif janda. Carlos Obregon (2022) pernah mendefinisikan kekuatan sosial merupakan hubungan antara dua individu atau kelompok yang memiliki kemampuan membangun tatanan sosial serta mendorong terjadinya perubahan sosial.

Oleh sebab itu, ketika banyak perempuan bersatu menjadi sebuah kekuatan sosial maka dapat mendorong terjadinya perubahan sosial berupa terkikisnya stigma negatif janda. Perempuan yang paling bisa memahami kondisi dan perasaan sesama perempuan, sehingga perempuan paling bisa melakukan perlawanan sosial terhadap stigma negatif tersebut.

Strategi untuk melakukan perlawanan sosial terhadap stigma negatif janda adalah rajin melakukan pemberdayaan janda melalui organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Fatayat, Muslimat, dan lain-lain. Organisasi-organisasi perempuan tersebut menjadi kekuatan sosial yang dapat mendorong perubahan sosial berupa terhapusnya stigma negatif janda.

Mereka dapat memanfaatkan organisasi-organisasi mereka sebagai sarana untuk memberdayakan janda melalui penyelanggaraan berbagai macam kegiatan. Bentuk-bentuk kegiatan pemberdayaan janda bisa seperti memberikan keterampilan dan bantuan sosial supaya mereka bisa bekerja dan mempunyai kemandirian ekonomi, melibatkan mereka di kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, dan lain-lain.

Ketika para janda mempunyai kegiatan positif dan mempunyai kemandirian ekonomi, maka stigma negatif janda akan terhapus secara perlahan-lahan. Sebab, para janda mampu membuktikan bahwa mereka mempunyai kegiatan positif, mandiri ekonomi, serta memberikan kebermanfaatan kepada masyarakat.

Organisasi-organisasi perempuan tersebut menjadi sebuah kekuatan sosial yang dapat melawan stigma negatif janda secara sistematis dan perlahan-lahan. Akhir kata, menjadi janda bukanlah suatu kehinaan. Bila janda diakibatkan oleh perceraian, maka menjadi janda cerai merupakan hak manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang.

Mereka tentu memilih dengan penuh kesadaran atas dasar pertimbangan rasionalitas. Memilih menjadi janda cerai atau tidak merupakan wujud kedaulatan berfikir perempuan sehingga wajib dihormati keputusan hidup mereka. Oleh karena itu, tidak sepatutnya stigma
negatif janda hadir dan melekat di ingatan masyarakat.

*) Penulis: Zahidiyah Ela Tursina, M.Hub.Int
Aktivis Perempuan Muda Muhammadiyah, PC Nasyiatul Aisyiyah Manyar Gresik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *