MAKLUMAT – Lantai atas SM Tower Malioboro Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin malam (22/9/2025) memancarkan suasana hangat berbeda. Lampu-lampu temaram menyoroti meja panjang berlapis kain putih. Nasi liwet, ayam bakar, dan sayur labu kuning yang mengepul tersaji di atas meja panjang. Aroma rempah menyatu dengan wangi kopi panas yang baru diseduh.
Dua sosok duduk saling berhadapan dalam suasana hangat: Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan Prof. Mitsuo Nakamura, antropolog Jepang yang telah meneliti Islam Indonesia lebih dari 50 tahun. Mereka tidak sekadar berbincang, tapi juga menautkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Muhammadiyah.
Kehadiran Nakamura kali ini sekaligus memperkenalkan bukunya Mengamati Islam di Indonesia 1971–2023. Malam itu terasa seperti jembatan waktu: dari Kotagede, Yogyakarta, ke jaringan global Muhammadiyah.
Haedar membuka percakapan dengan penuh kekaguman. Ia mengingat penelitian Nakamura di Kotagede, yang menggambarkan Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial yang berakar kuat pada nilai Islam pembaruan. “Prof Nakamura itu inspirator bagi keluarga besar Muhammadiyah,” kata Haedar sambil meneguk kopi hangat.
Penelitian itu bermula dari tugas doktoral Nakamura di Cornell University, AS. Dari sanalah lahir The Crescent Arises Over the Banyan Tree (1983, diperluas 2012). Buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta.
Haedar menuturkan, modal sosial Muhammadiyah dulu ditopang para saudagar dermawan. Kini, modal itu bertransformasi menjadi amal usaha institusional: sekolah, rumah sakit, dan universitas. “Dulu Muhammadiyah kuat karena saudagar. Sekarang tumbuh pesat karena amal usaha institusional,” tegas Haedar. Ia menekankan agar akar Muhammadiyah tetap hidup. Ia membangun jaringan saudagar untuk menjaga etos kewirausahaan kader.
Haedar menyoroti semangat riset Nakamura sebagai inspirasi intelektual. “Intelektualisme berbasis riset harus terus disuburkan. Muhammadiyah tidak bisa berhenti pada retorika, tapi butuh data dan fakta sosial yang dikembangkan menjadi teori dan paradigma gerakan,” jelasnya sambil menatap Nakamura.
Ia menambahkan, pendekatan emik Nakamura—memahami Muhammadiyah dari dalam—menjadi teladan. “Kritik perlu, tapi harus dilakukan dengan cara yang benar,” kata Haedar. Bahkan di usia 92 tahun, Nakamura tetap menyala semangat intelektualnya.
Nakamura: Dari Kotagede, Belajar Islam dari Kehidupan
Prof. Nakamura memulai ceritanya dengan nada jujur. Ia awalnya tidak berniat meneliti Islam, apalagi Muhammadiyah. “Saya masuk Kotagede hanya untuk penelitian sejarah sosial,” kenangnya sambil tersenyum.
Namun, kehidupan masyarakat Kotagede mengubah arah penelitian. Ia belajar Islam bukan dari buku, tapi dari pengalaman hidup bersama warga Muhammadiyah.
“Antropologi itu ilmu manusia. Orang Kotagede membawa saya kepada Islam. Mereka membuka mata saya tentang bagaimana Islam menghidupkan orang,” ucapnya hangat.
Nakamura menceritakan hari-hari awal di Kotagede: menelusuri gang sempit, mengikuti pengajian, dan menghadiri kegiatan sosial Muhammadiyah. Ia menyaksikan para saudagar mendukung sekolah dan pesantren dengan sukarela. “Saya belajar bahwa Islam bukan hanya ritual, tapi juga tentang tindakan nyata untuk masyarakat,” katanya.
Setengah abad kemudian, rasa ingin tahu tetap menjadi motivasi Nakamura. Ia menilai tokoh-tokoh kunci Islam Indonesia, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‘ari, KH AR Fakhruddin, hingga Abdurrahman Wahid, memberi corak kepemimpinan berbeda tapi tetap berakar pada semangat perjuangan umat.
Masa Depan Muhammadiyah Menurut Nakamura
Saat berbicara soal masa depan, mata Nakamura berbinar. Ia menyoroti pengalaman panjang Muhammadiyah dalam pendidikan dan pelayanan sosial sebagai modal penting menghadapi abad baru. Jejaring global Muhammadiyah, termasuk 163 perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, menjadi modal besar internasionalisasi.
“Islam ala Indonesia melalui lembaga Muhammadiyah bisa dikenal luas. Ini kontribusi penting bagi perdamaian dunia—Islam damai, Islam ramah,” katanya tegas.
Nakamura percaya, kekuatan civil society Muhammadiyah yang berakar pada amal usaha dapat menjadi teladan bagi organisasi Islam di seluruh dunia. Ia melihat optimisme dari generasi muda yang memegang teguh nilai dan etos Muhammadiyah, serta kemampuan organisasi ini beradaptasi dengan zaman.
Sebuah Pertemuan yang Mengikat Sejarah
Malam itu, percakapan selesai, tapi kesan mendalam tetap tersisa. Haedar menegaskan pentingnya intelektualisme berbasis riset, sementara Nakamura menegaskan Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society unik di dunia Islam.
Di luar, langit Yogyakarta sudah gelap. Di dalam, aroma kopi masih tersisa, tawa kecil terdengar, dan semangat riset, kenangan panjang, serta optimisme masa depan merajut benang merah sejarah Muhammadiyah yang tak terputus.
Bagi Muhammadiyah, pertemuan itu bukan sekadar nostalgia. Ia menjadi cermin: antara generasi lama dan baru, antara pengalaman dan penelitian, antara akar dan jejaring global.