Jutaan Warga Miskin Tak Tercatat Negara, CELIOS Desak BPS Ganti Cara Hitung Kemiskinan

Jutaan Warga Miskin Tak Tercatat Negara, CELIOS Desak BPS Ganti Cara Hitung Kemiskinan

MAKLUMATPusat Studi Ekonomi dan Hukum (Center of Economic and Law Studies/CELIOS) mendesak Badan Pusat Statistik (BPS) untuk segera merevisi metode pengukuran kemiskinan yang dinilai sudah usang dan tak lagi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini. Metode yang digunakan BPS disebut tak banyak berubah sejak hampir setengah abad lalu.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai cara BPS dalam mengukur kemiskinan masih bergantung pada pendekatan lama, yakni garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran.

“Pendekatan ini sah di era 1970-an. Namun, kini tak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan modern, seperti beban utang, keterbatasan layanan publik, hingga tekanan ekonomi kelas menengah,” tegas Media, dikutip dari laman resmi CELIOS, Rabu (28/5/2025).

Ia mencontohkan, masyarakat yang memiliki pengeluaran tinggi akibat cicilan utang atau biaya pendidikan anak justru dianggap sejahtera oleh BPS. “Rumah tangga yang menjual tanah demi biaya sekolah anak atau terlilit pinjol tidak masuk kategori miskin karena pengeluarannya tinggi. Padahal kenyataannya mereka rentan,” tambahnya.

Masalah lain, lanjut Media, muncul dari metode penghitungan garis kemiskinan yang menggunakan kelompok referensi dengan daya beli menurun. Alhasil, garis kemiskinan tidak naik signifikan dan angka kemiskinan tampak membaik hanya di atas kertas.

“Secara statistik, kemiskinan terlihat turun, padahal kondisi kesejahteraan masyarakat memburuk,” jelasnya.

Baca Juga  Saksi Tolak Tandatangani Berita Acara Rekapitulasi Pilbup Magetan, Siapkan Langkah Selanjutnya

Data BPS dan Bank Dunia Jomplang

CELIOS juga menyoroti ketimpangan mencolok antara data kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia. BPS menyebut angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2025 sebesar 8,5 persen atau sekitar 24 juta jiwa. Sementara Bank Dunia mencatat hingga 60,3 persen atau sekitar 172 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin, jika menggunakan standar kemiskinan global sebesar USD 6,85 per hari (Purchasing Power Parity/PPP).

Menurut CELIOS, meski pendekatan keduanya berbeda, selisih yang terlalu besar menimbulkan kebingungan publik dan menggerus kepercayaan terhadap data resmi pemerintah.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai pemerintah seharusnya berani merevisi garis kemiskinan, seperti yang dilakukan Malaysia pada 2019. “Malaysia menaikkan standar kemiskinan untuk memperluas jangkauan bantuan sosial. Sayangnya, Indonesia tampak khawatir anggaran subsidi membengkak jika jumlah orang miskin meningkat,” ujar Bhima.

Menurutnya, kekhawatiran itu muncul karena rasio pajak rendah dan utang jatuh tempo meningkat tajam tahun ini. “Tapi kalau garis kemiskinan tidak direvisi, yang dirugikan adalah mereka yang benar-benar miskin tapi tidak dapat akses bantuan,” tegasnya.

BSU Tak Sentuh Pekerja Informal

CELIOS juga menyinggung persoalan akurasi data ketenagakerjaan yang menjadi dasar pemberian Bantuan Subsidi Upah (BSU). Bhima menyebut data BSU yang bersumber dari BPJS Ketenagakerjaan tak mencakup jutaan pekerja informal dan kontrak.

“Dulu saat pandemi banyak pekerja informal, seperti ojol, buruh kontrak, dan outsourcing tidak dapat BSU. Sekarang masalah yang sama terulang karena pendataannya masih sempit,” jelas Bhima.

Baca Juga  Usai Ditetapkan, Boedi Prijo Gaspol Menangkan Khofifah-Emil

Untuk itu, CELIOS mengusulkan pendekatan baru dalam mengukur kemiskinan, yakni berbasis disposable income atau pendapatan bersih rumah tangga setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Model ini dinilai lebih adil dan merepresentasikan tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat saat ini, termasuk beban generasi sandwich dan kebutuhan non-pangan.

Bhima mencontohkan Uni Eropa yang kini memakai indikator decent living atau “hidup yang layak” untuk mengukur kemiskinan secara lebih menyeluruh, termasuk literasi, kesehatan, pengangguran, hingga tingkat kebahagiaan.

CELIOS juga mendorong agar data kemiskinan digunakan sebagai alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. “Data ini harus menjadi dasar menilai sistem pajak dan efektivitas bantuan sosial,” tegas Bhima.

Sebagai langkah konkret, CELIOS mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pengukuran kemiskinan versi baru. Perpres ini diharapkan mampu mengatur koordinasi lintas lembaga, integrasi data, serta reformasi program bantuan sosial secara nasional.***

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *