Kasus Stunting di Surabaya Turun Drastis dalam Tiga Tahun, Sisakan 1,6 Persen

Kasus Stunting di Surabaya Turun Drastis dalam Tiga Tahun, Sisakan 1,6 Persen

MAKLUMAT — Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengklaim berhasil menurunkan prevalensi stunting secara drastis, dari 28,9 persen pada 2021 menjadi hanya 1,6 persen pada 2023. Strategi berbasis data, peran aktif kader, serta sinergi lintas sektor menjadi pilar utama keberhasilan tersebut.

Dalam forum Aksi Konvergensi Upaya Pencegahan dan Percepatan Penurunan Stunting Tingkat Provinsi Jawa Timur 2025 yang digelar daring, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memaparkan pendekatan komprehensif Pemkot Surabaya dalam menangani stunting. Paparan ini disampaikan langsung dari ruang kerja Wali Kota, Rabu (11/6/2025).

Salah satu inovasi unggulan adalah pemanfaatan Aplikasi Sayang Warga, sistem digital berbasis data yang memungkinkan pemantauan real-time terhadap kelompok rentan stunting, mulai dari balita, ibu hamil, hingga calon pengantin. Aplikasi ini digunakan oleh seluruh Perangkat Daerah (PD) dan Kader Surabaya Hebat (KSH) yang telah mendapat pelatihan untuk melakukan pendataan langsung ke lapangan.

“Data-data penting ini dapat diakses oleh seluruh Perangkat Daerah (PD) terkait dan Kader Surabaya Hebat (KSH). Pengukuran dan publikasi data juga intens dilakukan melalui PD terkait serta sosialisasi di berbagai media,” jelas Wali Kota Eri.

Data yang dikumpulkan KSH akan diverifikasi oleh Puskesmas, kemudian divisualisasikan dalam dashboard digital yang dapat dipantau oleh Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), hingga dinas lainnya. Aplikasi ini juga terhubung dengan portal WargaKu Surabaya, sehingga dapat diakses publik secara luas melalui Play Store dan iOS.

“Data yang ditemukan KSH dan diverifikasi sistematis juga dapat dilihat oleh pendamping PKK yang terintegrasi dalam program Sudah Keluarga,” ujar dia.

Baca Juga  Pengamat Politik: Ada yang Tidak Beres dengan Mahkamah Konstitusi

Pendekatan lintas sektor turut diperkuat dengan intervensi berdasarkan siklus kehidupan, termasuk edukasi dan distribusi Tablet Tambah Darah (TTD) bagi remaja putri. Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan membentuk tim khusus yang bertugas memastikan remaja putri mengonsumsi TTD secara berkala.

“Distribusi TTD dari Puskesmas ke sekolah-sekolah, mulai jenjang SD, SMP, SMA, dan sederajat seperti MI, Sanawiyah, dilakukan secara berkala. Pemberian TTD dilakukan seminggu sekali, khususnya untuk remaja putri yang sudah menstruasi, dengan data sasaran yang telah dimiliki Dinkes dan Dispendik,” terangnya.

Aplikasi Profil Sekolah menjadi alat pemantauan digital yang mencatat siapa saja yang sudah atau belum mengonsumsi TTD. Data dimasukkan langsung oleh guru kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK) setiap minggunya.

“Hal ini memungkinkan Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Dinas Pendidikan untuk memantau siapa yang belum minum TTD, bahkan mengantar TTD ke rumah siswa jika diperlukan,” tegasnya.

Selain itu, Pemkot Surabaya juga menggandeng perguruan tinggi, khususnya Universitas Airlangga (UNAIR), untuk melakukan pendampingan di Posyandu. Setiap tahun, sekitar 300 mahasiswa Fakultas Kedokteran UNAIR diterjunkan untuk mendampingi ibu dan balita dalam deteksi dini kasus stunting dan edukasi.

“Setiap tahun, sekitar 300 mahasiswa baru FK Unair diturunkan ke Posyandu dan Puskesmas untuk pendampingan, didampingi oleh dosen,” ungkap Eri.

Capaian ini juga ditopang oleh peningkatan kualitas pembangunan manusia. Menurut Asisten Administrasi Umum Pemkot Surabaya Anna Fajriatin, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Surabaya pada tahun 2024 telah mencapai 84,69. Selain itu, cakupan Universal Health Coverage (UHC) sudah 100 persen sejak 2023, serta seluruh kelurahan telah bebas dari praktik Open Defecation Free (ODF).

Baca Juga  LBH Banyumas: Larangan Salat Id di Lapangan Desa Rempoah Langgar Hak Konstitusional Warga Negara

“Selain itu, Indeks Pembangunan Gender juga naik dari tahun 2022 hingga 2024. Kota Surabaya mencatat tren pertumbuhan ekonomi positif, diiringi penurunan jumlah penduduk miskin ekstrem, angka kemiskinan, dan tingkat pengangguran terbuka. Seluruh kelurahan di Kota Surabaya juga telah bebas Open Defecation Free (ODF), yang berarti bebas dari buang air besar sembarangan,” pungkasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *