Kebebasan Akademik: Apa Maknanya, dan Bagaimana Seharusnya?

Kebebasan Akademik: Apa Maknanya, dan Bagaimana Seharusnya?

MAKLUMAT — Ranah akademik sejatinya adalah ranah yang bebas. Karena itu, kita mengenal istilah kebebasan akademik. Baik mahasiswa maupun dosen, seyogianya memiliki semangat kebebasan akademik, terlebih di tengah situasi pendidikan yang, menurut sebagian kalangan, masih carut-marut. Hasil dari pendidikan kita belumlah sampai pada taraf melahirkan kaum intelektual, melainkan sebatas memenuhi logika kapital: menghasilkan tenaga kerja sesuai permintaan pasar.

Pendidikan kemudian cenderung menyeragamkan pola pikir, mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan berdasarkan untung-rugi, dan tunduk pada standar yang dibentuk oleh hasrat pasar. Ilmu dipilah antara yang “elite” dan yang “sulit”. Kalau sudah begini, lantas apa sebenarnya makna dari kebebasan akademik itu?

Saya tidak tertarik mendefinisikan kebebasan akademik secara tunggal dan kaku, sebab setiap kepala punya tafsirannya masing-masing. Namun demikian, kita perlu menyepakati bahwa kebebasan bukan berarti tanpa batas. Bebas tetap harus dalam bingkai nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai sesuatu yang baik dan patut dipatuhi.

Kebebasan akademik, dalam pengertian saya, berarti terbebas dari muslihat tersembunyi ketika menyampaikan ekspresi intelektual hasil dari dialektika. Artinya, tidak ada paksaan, bahkan yang paling halus sekalipun, untuk menjadi seragam dalam berpikir atau berbicara di lingkup akademis.

Banyak pemikir telah membahas soal kebebasan akademik. Salah satunya adalah Václav Havel, intelektual asal Cekoslowakia. Dalam bukunya Disturbing the Peace, Havel menyebut bahwa kaum intelektual kerap terjebak dalam mindset “The Power of the Powerless”—kuasa dari mereka yang sebenarnya tidak berkuasa. Karena rendah diri dan enggan terlibat dalam proses mendidik publik, intelektual akhirnya tak berani berhadapan dengan sistem dominan. Mereka terlalu lama dimanjakan oleh kenyamanan keseragaman yang dibentuk oleh sistem itu sendiri.

Baca Juga  Investasi Laboratorium Sains: Tanggapan Atas Temuan Produk Bersertifikat Halal Mengandung Babi

Sistem ini bisa kita beri nama apa saja, sesuai kecurigaan dan kajian masing-masing. Yang pasti, keluar dari perangkap ini tidak mudah. Tapi menurut Frantz Fanon, penulis University Doctrine, apabila ada goodwill dari semua pihak—baik di lingkungan akademik maupun di luarnya—untuk menciptakan ruang akademik yang sehat, maka kebebasan akademik akan tercapai, meski secara bertahap.

Lalu bagaimana kebebasan akademik seharusnya bekerja? Bagi saya, semuanya harus dimulai dari prinsip yang diajarkan Voltaire: “Untuk menjaga iklim kebebasan, kita harus sepakat dengan ketidaksepakatan, dan bahkan membela ketidaksepakatan itu ketika ditindas—selama ia tidak mencederai nilai-nilai baik yang kita sepakati bersama.”

Jadi, apa kesimpulannya?

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, biarlah definisi kebebasan akademik hidup di kepala masing-masing. Yang bisa kita sepakati adalah indikatornya: kebebasan akademik adalah ketika perbedaan pemikiran dirayakan, bukan ditindas; informasi tidak dimonopoli; dan ada jaminan keamanan bagi mereka yang memiliki pandangan berbeda.

Kebebasan akademik juga berarti tidak memfosilkan diskursus menjadi “pemosilan intelektual” belaka, tetapi harus menjangkau praktik nyata. Ia tidak boleh terjebak dalam nalar pengetahuan yang hanya berdasar pada logika pasar dan kekuasaan.

Mungkin ini terdengar terlalu muluk. Tapi setidaknya, kita bisa memulainya dengan membangun budaya akademik yang objektif—tidak mudah menghakimi, tidak meneror, apalagi memfitnah, baik terhadap yang pro maupun kontra terhadap suatu kritik.

Baca Juga  Kapolda Jabar dan Tuntutan Rakyat: Uji Nyali Polisi di Tragedi Pernikahan Putra KDM

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip Cary Nelson, penulis buku No University is an Island, yang menyatakan: “Academic freedom is the freedom to discuss all relevant matters in the classroom; to explore all avenues of scholarship, research, and creative expression; and to speak or write without institutional discipline or restraint on matters of public concern as well as on matters related to professional duties and the functioning of the University. Academic responsibility implies the faithful performance of professional duties and obligations, the recognition of the demands of the scholarly enterprise, and the candor to make it clear that, when one is speaking on matters of public interest, one is not speaking for the institution.

Artinya: “Kebebasan akademik adalah kebebasan untuk membahas semua hal relevan di ruang kelas; untuk mengeksplorasi seluruh khazanah keilmuan, penelitian, dan ekspresi kreatif; serta untuk berbicara atau menulis tanpa disiplin institusional atau pembatasan mengenai persoalan kepentingan publik maupun hal-hal terkait tugas profesional dan fungsi Universitas. Tanggung jawab akademik mengandung makna pelaksanaan tugas dan kewajiban profesional secara penuh komitmen, pengakuan terhadap tuntutan khazanah keilmuan, serta kejujuran untuk memperjelas bahwa ketika seseorang berbicara tentang masalah kepentingan publik, ia tidak bicara mewakili institusi.”***

*) Penulis: Putu Ayu Suniadewi
Mahasiswa S2 Jurusan Teknologi Informasi, Universitas INTI, Kuala Lumpur, Malaysia

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *