Kedaulatan Palestina Adalah Harga Mati

Kedaulatan Palestina Adalah Harga Mati

MAKLUMAT — Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (12/9/2025) melalui Deklarasi New York mencatat babak penting dalam perjuangan Palestina. Mayoritas negara anggota sepakat pada resolusi damai dua negara, Palestina dan Israel, yang diinisiasi Arab Saudi dan Perancis. Dari hasil pemungutan suara, 142 negara mendukung, 10 menolak, dan 12 abstain. Dukungan besar ini menjadi sinyal kuat bahwa dunia semakin mengakui hak bangsa Palestina untuk merdeka.

Namun persoalan Palestina tidak bisa dipandang sebatas hasil voting di forum internasional. Krisis kemanusiaan di Gaza telah menjadi isu global yang berkepanjangan. Serangan Israel yang terus menggempur wilayah tersebut bukanlah konflik baru. Sejak Israel memproklamasikan negara pada 1948, rakyat Palestina berulang kali menjadi korban pengusiran, blokade, dan genosida. Apa yang terjadi hari ini adalah pengulangan sejarah pembantaian yang menyayat hati nurani dunia.

Palestina dan Syarat Sebuah Negara

Menurut Konvensi Montevideo 1933, sebuah entitas dapat diakui sebagai negara jika memenuhi empat unsur konstitutif: penduduk tetap, wilayah yang pasti, pemerintahan yang efektif, serta kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain. Empat unsur ini menjadi standar universal dalam hukum internasional untuk menentukan kedaulatan sebuah bangsa.

Jika merujuk pada ketentuan tersebut, Palestina sejatinya telah memenuhi syarat. Ada penduduk yang konsisten bertahan di tanah kelahiran mereka, meski berulang kali diusir. Ada wilayah historis yang jelas, meskipun sebagian besar telah dirampas melalui pendudukan dan pembangunan permukiman ilegal Israel. Ada pemerintahan yang berjalan melalui Otoritas Palestina, walau kerap dilemahkan akibat tekanan eksternal. Palestina juga telah menjalin hubungan diplomatik dengan puluhan negara, menjadi anggota berbagai organisasi internasional, bahkan diakui sebagai non-member observer state di PBB sejak 2012.

Baca Juga  Netanyahu Ingin "Kuasai Total" Gaza, Sejuta Warga Palestina Digusur!

Dengan demikian, secara hukum internasional, eksistensi Palestina sebagai negara memiliki dasar yang sah. Namun realitas politik dan militer di lapangan berkata lain. Agresi Israel yang tak henti-henti membuat kondisi Palestina porak-poranda. Wilayahnya terus tergerus dari hari ke hari; tembok pemisah, pos militer, dan blokade darat maupun laut seakan mengurung rakyatnya dalam penjara raksasa. Pemerintahan Palestina yang rapuh semakin dilemahkan oleh serangan sistematis, baik fisik maupun diplomatis. Upaya menjalin hubungan internasional pun selalu dibayang-bayangi intervensi geopolitik kekuatan besar yang berkepentingan menjaga dominasi Israel di kawasan.

Akibatnya, kedaulatan Palestina tampak seperti “janji kosong” yang terus digantungkan di forum internasional. Bangsa yang memenuhi syarat sebagai negara justru diperlakukan seakan tidak berhak menentukan nasibnya sendiri. Sementara itu, rakyatnya hidup dalam penderitaan: menghadapi serangan udara, blokade, kelangkaan obat-obatan, dan keterbatasan pangan.

Salah satu faktor utama yang menghalangi pengakuan penuh terhadap Palestina adalah sikap Amerika Serikat. Sebagai sekutu utama Israel sekaligus pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, AS berulang kali menggagalkan resolusi yang seharusnya melindungi rakyat Palestina. Resolusi internasional sering kali hanya berakhir di atas kertas, tak mampu menghentikan agresi, apalagi membuka jalur aman bagi bantuan kemanusiaan. Dunia menyaksikan bagaimana mekanisme hukum internasional lumpuh di hadapan kepentingan politik segelintir negara besar.

Israel sendiri kerap berdalih bahwa gempuran mereka ditujukan untuk melawan Hamas. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Blokade Gaza tidak hanya menargetkan kelompok bersenjata, melainkan seluruh rakyat sipil. Bantuan kemanusiaan dipersulit, jalur distribusi makanan dan obat-obatan diblokir, sementara rumah sakit dan sekolah menjadi sasaran serangan. Anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tak bersalah menjadi korban utama.

Baca Juga  Carok Pilkada: Fanatisme Kaum Alit, Pragmatisme Kaum Elit

Pada titik ini, persoalan Palestina tidak lagi sekadar menyangkut kedaulatan politik, melainkan juga persoalan moral umat manusia. Dunia dihadapkan pada ujian besar: apakah prinsip kemanusiaan yang diagungkan dalam piagam internasional benar-benar ditegakkan, atau hanya menjadi jargon kosong ketika berhadapan dengan kepentingan geopolitik?

Solidaritas Indonesia dan Harga Mati Kedaulatan Palestina

Indonesia konsisten berada di garis depan dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Sikap ini berakar pada sejarah. Pada 1945, ketika Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaan, Palestina termasuk negara pertama yang menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Indonesia. Solidaritas ini terpatri dalam ingatan bangsa, diperkuat oleh amanat konstitusi: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Komitmen itu kembali ditunjukkan tahun ini. Pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, TNI AU menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui udara menggunakan pesawat Airbus. Langkah ini diambil karena jalur darat hampir mustahil ditembus akibat blokade Israel. Bantuan tersebut tidak hanya bermakna praktis, tetapi juga simbolis: kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan darah dan air mata menjadi alasan kuat untuk berdiri bersama bangsa yang masih terjajah.

Deklarasi New York yang didukung 142 negara harus menjadi momentum memperkuat pengakuan atas Palestina. Dunia tidak boleh terus membiarkan genosida berlangsung. Kedaulatan bukanlah sesuatu yang bisa ditawar, melainkan hak asasi yang melekat pada setiap bangsa. Diamnya dunia internasional sama saja dengan bersekongkol dalam penjajahan. Sebaliknya, bersuara lantang untuk Palestina adalah bagian dari menjaga martabat kemanusiaan.

Baca Juga  Muhammadiyah Apresiasi Inggris-Prancis Akui Palestina: Titik Balik Keadilan Global

Indonesia dan mayoritas negara dunia telah menunjukkan sikapnya. Kini tinggal bagaimana tekanan global diwujudkan dalam langkah konkret: penghentian agresi, penghapusan blokade, dan pengakuan penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Sejarah akan mencatat sikap kita hari ini—apakah memilih berpaling, atau berdiri bersama keadilan.

Satu hal yang pasti: kedaulatan Palestina adalah harga mati.***

*) Penulis: Anang Dony Irawan
Penikmat Sejarah, Wakil Ketua PCM Sambikerep Kota Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *