KEKUATAN politik itu luar biasa. Bisa menyeret apa saja. Termasuk menyeret akal sehat menjadi tidak sehat. Lihatlah pada pemilu kemarin. Banyak keanehan atau kelucuan terjadi. Misalnya tiba-tiba banyak orang alergi dengan kata Amin semata-mata karena kata itu menjadi sebutan bagi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Padahal kata Amin adalah ucapan kita sehari-hari
Orang alergi karena dengan menyebut Amin takut dianggap sebagai pendukung Anies- Muhamimin. Sampai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berani membaca doa dengan suara keras takut di akhir doa orang-orang mengucapkan Amin.
Dan itu bisa dianggap dukungan kepada Anis-Muhaimin. Maka doa itu dia ganti dengan “berdoa sesuai keyakinan masing-masing”. Mirip dengan mengheningkan cipta. Orang menyaksikan kelucuan itu
Apakah dengan mengucapkan Amin orang akan menuduh Ketua KPU mendukung pasangan Anis? Tidak! Itu hanya ketakuan yang berlebihan. Pejabat juga banyak menghindari kata Amin. Suasana pemilu membawa logika sehat terganggu.
Sekarang pemilu sudah selesai. Maka semua harus kembali pada kewarasan. Para lurah harus merasa merdeka. Tidak ada lagi tekanan atau tambahan tugas menyukseskan salah satu paslon seperti yang diisukan. Maka kembalilah para lurah pada kewarasan. Fokus pada melayani masyarakat dan membangun desa.
Jangan takut dana desa akan diusut atau dicari-cari kasalahan kalau memang para lurah tidak besalah. Para polisi dan petugas keamanan tidak perlu lagi takut ada tugas tambahan miring ke kelompok tertentu seperti yang diduga banyak orang. Pemilu sudah selesai. Suasana ketidakwarasan sudah berlalu. Mari kembali pada kewarasan.
Waktu pemilu kita beramai-ramai tanpa sadar berada dalam ketidakwarasan. Kalau capres yang kita dukung disudutkan kelompok lain, maka emosi kita tersulut. Tak sempat lagi berpikir waras. Sebaliknya kalau kita memuji paslon yang kita dukung maka pujian itu seperti orang yang tidak punya kekurangan. Kita tidak dalam kewarasan tetapi tidak merasa.
Kini pemilu sudah selesai. Jika ada saling protes biarlah itu menjadi urusan partai politik atau caleg yang belum puas atas hasilnya. Kita tinggalkan soal hiruk pikuk ketidakwarasan. Kita kembali pada dunia kewarasan.
Para guru teruslah mendidik anak-anak kita menjadi manusia dewasa dalam berpikir dan dewasa dalam beremosi. Emak-emak tingkatkan kesabaran di tengah harga yang melonjak turun naik tak menentu.
Para pemuda asahlah terus kreativitas karena tantangan yang Anda hadapi semakin berat. Dunia di depan kita adalah milik kita. Dengan tangan kita sendiri kita mewarnai dunia yang terbentang di depan kita itu. Buka dengan tangan orang lain.
Ramadan telah memberikan pelajaran berharga dalam kehidupan ini. Pelajaran terpenting dari Ramadan adalah kejujuran. Alangkah indahnya hidup dengan penuh kejujuran. Tidak ada yang lebih waras daripada hidup yang dinafasi kejujuran.
Tidak ada lagi saling curiga. Semua saling percaya, tidak ada dusta diantara kita. Bisakah kita wujudkan kehidupan penuh kejujuran seperti yang diajarkan Ramadan? Allah menjamin orang jujur perilakunya dibimbing Allah. Sebagaimana firmannya:
“Wahai orang-orang yang beriman. Betaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Allah akan membaguskan perbuatanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa saja yang taat pada Allah dan Rasul-Nya maka dia mendapatkan keberuntungan yang besar.” QS Al Ahzab 70-71
Kewarasan itu harus kita cipakan karena bukan hadiah yang tiba-tiba datang. Dimulai dengan membiasakan berpikir yang sehat. Inilah modal dasar menciptakan hidup yang waras. Tidak ada tekanan yang membuat kita melenceng dari berpikir sehat.
Selama pemilu memang banyak yang mempengruhi pola pikir kita. Terutama suasana politik. Tapi kini semua sudah berlalu. Maka kewarasan itu harus kembali, Segala hal yang terasa tidak logis harus kita respon dengan kritis.
Jika warna merah kita katakan merah. Jika warna hijau kita katakan hijau. Ada yang bilang politik tidak begitu. Jika menunjuk ke utara, boleh jadi tujuannya ke selatan. Apakah dunia politik bukan dunia kewarasan? Pada awalnya dunia politik itu baik dan kita butuh pada dunia politik.
Segala hal ditentukan lewat keputusan politik. Bahkan ada yang menjadikan politik sebagai sarana dakwah. Tetapi karena dalam politik juga ada kekuasaan, maka untuk merebut kekuasaan itu kadang bisa menyingkirkan etika.(*)
Nur Cholis Huda, Penulis adalah Mantan Wakil Ketua PWM Jawa Timur
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MATAN edisi 212 (Maret 2024)