MAKLUMAT — Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait kembali membahas Rancangan Qanun (RaQanun) Ahwal Al-Syakhshiyah atau Hukum Keluarga Aceh yang telah digagas sejak 2019 silam. Meski sudah melalui beberapa tahap diskusi, rancangan tersebut belum juga mencapai tahap final.
Kabid Pengelolaan Otonomi Khusus Kemenko Polkam, Verdy De Irawan, mengatakan bahwa pembahasan terakhir RaQanun tersebut pada tahun 2022 baru menyentuh 35 dari total 186 pasal. Kondisi ini menunjukkan adanya stagnasi akibat kompleksitas substansi, perbedaan pandangan antar pihak, serta keterbatasan waktu dan sumber daya.
“Penyusunan RaQanun Ahwal Al-Syakhshiyah perlu segera diselesaikan sebagai wujud nyata peran Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Aceh dalam menjaga kekhususan Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam,” ujar Verdy, Selasa (14/10/2025).
Ia menekankan pentingnya penyelarasan RaQanun dengan sejumlah regulasi nasional seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Upaya tersebut dinilai perlu agar substansi Qanun tidak tumpang tindih dengan hukum nasional, tetapi tetap mencerminkan kekhususan Aceh.
Kemenko Polkam mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Hukum (Kemenkum), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), untuk memperkuat asistensi dalam penyusunan RaQanun sesuai kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki. Selain itu, koordinasi bersama DPRA dan Pemerintah Aceh diharapkan dapat mempercepat harmonisasi pasal-pasal agar proses pembahasan segera tuntas.
Melalui kerja lintas kementerian dan lembaga ini, pemerintah berupaya agar RaQanun Ahwal Al-Syakhshiyah dapat segera disahkan sebagai bentuk komitmen memperkuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh secara adil, inklusif, dan tetap selaras dengan hukum nasional.
“Stagnasi pembahasan yang berlangsung cukup lama menunjukkan bahwa implementasi hukum syariat di Aceh belum berjalan optimal dan perlu percepatan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat sebagaimana amanah dari MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh,” tandasnya.