MAKLUMAT — Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Deni Aditya Susanto SE MEcDev, menyoroti naiknya angka kemiskinan di wilayah perkotaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatatkan penurunan angka kemiskinan secara nasional, namun justru mengalami peningkatan di wilayah perkotaan. Angka kemiskinan perkotaan naik dari 11,05 juta jiwa (6,66%) menjadi 11,23 juta jiwa (6,73%).
Tiga Persoalan Utama

Terkait hal tersebut, Deni menilai bahwa kemiskinan di wilayah perkotaan tak bisa dilepaskan dari tiga persoalan utama, yakni perbedaan struktural antara kota dan desa, derasnya urbanisasi, serta rentannya struktur ekonomi kota terhadap guncangan.
“Kalau di desa, orang bisa tetap makan meskipun pendapatannya kecil, karena dekat dengan akses pangan dan produksi lokal. Tapi di kota, tidak ada konsumsi tanpa pendapatan,” ujar Deni, dilansir dari laman resmi UMS.
Menurutnya, cara masyarakat bertahan hidup di desa dan kota sangat berbeda. Di desa, sumber daya nonmoneter seperti hasil kebun, bantuan keluarga, atau praktik berburu masih menjadi penyangga. Sementara di kota, semua bergantung pada uang.
Faktor sosial pun turut berperan. “Di desa, masih hidup nilai gotong royong yang menjadi jejaring sosial alami bagi warga miskin. Namun di kota, individualisme malah menjamur,” jelasnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, perbedaan antara desa dan kota juga mencolok. Pekerjaan di desa umumnya homogen dan stabil seperti bertani atau berdagang, sementara di kota pekerjaan cenderung fleksibel dan rentan. “Kenaikan inflasi sedikit saja, bisa langsung menaikkan angka kemiskinan secara signifikan,” imbuh Deni.
Derasnya Arus Urbanisasi
Deni juga menyoroti derasnya arus urbanisasi sebagai penyebab kemiskinan di kota. Menurutnya, urbanisasi dari desa ke kota masih jauh lebih besar dibanding reurbanisasi. Banyak masyarakat datang ke kota hanya bermodal jejaring sosial, tanpa pekerjaan tetap.
“Beberapa orang motifnya dicoba dulu merantau, ikut tetangga yang sukses, nanti di sana baru cari pekerjaan. Pola masyarakat kita sebagian masih begitu,” jelasnya.
Gelombang PHK
Selain itu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal 2025 akibat konflik dagang global dan penurunan ekspor ikut memperburuk kondisi. “Industri dalam negeri itu kan dipengaruhi oleh permintaan. Kalau misalnya ekspor kita ke Amerika berkurang karena pengaruh tarif misalnya, maka permintaan berkurang dan perusahaan akan menurunkan produksi agar efisien,” katanya.
PHK menjadi opsi cepat dan murah bagi perusahaan dalam menekan biaya operasional. “Penjualan aset seperti mesin membutuhkan waktu, sedangkan PHK itu opsi paling praktis,” lanjut Deni.
Terkait solusi, Deni menyoroti lemahnya regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Ia menilai belum ada aturan yang cukup kuat untuk memaksa pemilik perusahaan bertanggung jawab terhadap hak-hak pekerja.
“Kita selama ini belum punya regulasi yang mengikat pemilik perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap karyawan. Mereka bisa kabur begitu saja,” ujarnya prihatin.
Dorong Solusi Pengentasan Kemiskinan
Lebih lanjut, Deni mengusulkan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan, mulai dari regulasi hingga sinergi lintas elemen, termasuk dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga riset.
Pertama, memperbaiki regulasi ketenagakerjaan agar pemilik modal bertanggung jawab secara hukum dan moral terhadap kesejahteraan pekerja.
Kedua, pemerintah perlu memberikan bantuan likuiditas kepada industri di wilayah perkotaan agar tidak melakukan PHK massal. “Misalnya seperti bantuan likuiditas seperti yang pernah dilakukan pada masa krisis ekonomi era 1990-an. Supaya apa? Perusahaan tetap bertahan dan tak melakukan PHK massal,” jelas Deni.
Ketiga, pengendalian urbanisasi dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah, agar kota tidak semakin terbebani.
Keempat, melibatkan perguruan tinggi dan lembaga riset dalam merancang solusi berbasis data untuk mengatasi kemiskinan struktural di kota. “Kampus dan lembaga riset juga memegang peran penting karena bisa berkontribusi melalui riset dan pengabdian masyarakat,” tambahnya.
Deni memperingatkan bahwa dampak kemiskinan di perkotaan sangatlah besar jika tidak segera ditangani.
“Yang ditakutkan mungkin kalau pengentasan kemiskinan berjalan lambat, angka kriminalitas, maraknya gelandangan, munculnya pemukiman kumuh, dan lain sebagainya itu ya terus ada. Ketimpangan terus melebar. Ini PR yang berat, maka harus segera diperbaiki,” pungkasnya.