MAKLUMAT — Koperasi, yang seharusnya menjadi lokomotif demokrasi ekonomi, hari ini tak ubahnya kosmetik kebijakan. Ia tampak manis di permukaan, legal secara formal, tapi rapuh di dalam. Ironisnya, di saat ketimpangan ekonomi kian merajalela dan krisis kepercayaan terhadap pasar serta negara makin terasa, koperasi justru gagal tampil sebagai solusi konkret. Dan penyebab utama kegagalan ini tidak lain adalah pendekatan yang masih “top-down”, seperti yang tergambar dalam kelahiran Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang didorong melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2025.
Fenomena koperasi semu atau quasi-cooperative ini bukanlah barang baru. Sejak era Orde Baru, negara terbiasa memaksakan pembentukan koperasi demi proyek politik, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) yang menjamur, tetapi banyak yang mati suri. Kini, skenario itu terulang lagi dalam kemasan baru: 80.000 Koperasi Merah Putih dibentuk dalam waktu singkat melalui intervensi struktural.

Di banyak desa, termasuk di wilayah DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), koperasi dibentuk tanpa akar sosial. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UKM DIY tahun 2024, dari 4.326 koperasi yang tercatat aktif secara administratif, hanya 1.145 yang benar-benar beroperasi secara ekonomi. Artinya, lebih dari 70 persen koperasi hanya hidup di atas kertas.
Lebih parah lagi, banyak dari koperasi itu tidak memiliki aktivitas usaha, tidak menggelar rapat anggota tahunan (RAT), dan tidak menjalankan prinsip partisipasi. Banyak warga desa di Kulon Progo dan Gunungkidul mengaku mendirikan koperasi atas permintaan aparat kelurahan, tanpa tahu tujuan jangka panjangnya. Koperasi hanya menjadi instrumen program, bukan gerakan yang tumbuh dari kebutuhan riil masyarakat.
Jika kita merujuk pada definisi resmi dari International Cooperative Alliance (ICA), koperasi adalah asosiasi otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi bersama melalui perusahaan yang dikendalikan secara demokratis. Indonesia telah meratifikasi definisi ini dalam International Cooperative Identity Statement di Manchester, 1995. Maka, jika koperasi dibentuk atas perintah, apalagi dengan target administratif, ia sejak awal telah kehilangan ruhnya. Tidak ada kesukarelaan. Tidak ada otonomi. Tidak ada demokrasi.
Dampak dari model semu ini sangat nyata. Di tingkat nasional, kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) stagnan di angka 0,95 persen pada tahun 2024, dan di Yogyakarta pun angkanya tidak jauh berbeda. Menurut data BPS DIY, kontribusi koperasi terhadap PDRB daerah hanya mencapai 1,02 persen, angka yang tidak sebanding dengan jumlah koperasi yang terus bertambah setiap tahun. Artinya, koperasi tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Ia hanya sibuk dengan laporan administratif, bukan aktivitas produktif.
Model intervensi negara terhadap koperasi ini sejatinya merupakan warisan kolonial. Di era British-Indian Pattern, pemerintah kolonial membentuk koperasi atas dasar anggapan bahwa rakyat tidak mampu berinisiatif sendiri. Akibatnya, koperasi menjadi proyek elite, bukan gerakan rakyat. Semangat ini masih bertahan dalam birokrasi kita hingga kini. Pemerintah merasa perlu menciptakan koperasi untuk rakyat, padahal yang dibutuhkan rakyat adalah ruang untuk membentuk koperasi dari bawah, berdasarkan kebutuhan dan kesadaran bersama.
Motivasi negara pun seringkali tak murni. Koperasi dijadikan instrumen penyerapan dana, alat distribusi bantuan, atau bahkan kendaraan politik menjelang pemilu. Ketika negara menjadi penggagas dan sekaligus regulator koperasi, maka kepentingan rakyat mudah sekali terpinggirkan. Tidak heran jika banyak koperasi di desa-desa hanya aktif saat ada proyek masuk. Setelah itu, ia mati perlahan—tanpa pertanggungjawaban, tanpa keberlanjutan.
Kondisi ini harus menjadi alarm bagi semua pihak. Demokrasi ekonomi tidak akan mungkin hidup jika koperasi hanya menjadi alat kekuasaan. Kita harus membalik arah kebijakan: dari negara yang membentuk koperasi, menjadi negara yang menciptakan ruang tumbuhnya koperasi rakyat. Negara perlu mundur beberapa langkah untuk memberi kesempatan rakyat mengambil inisiatif. Prinsip deofisialisasi koperasi harus menjadi agenda utama dalam reformasi kelembagaan ekonomi kita.
Kita perlu belajar dari sejarah. Pada akhir abad ke-19, gerakan koperasi rakyat di Purwokerto yang dipelopori De Wolf van Westerrode mampu bertahan karena tumbuh dari kesadaran masyarakat. Koperasi simpan-pinjam yang ia dirikan adalah bentuk nyata dari solidaritas rakyat dalam menghadapi penindasan ekonomi kolonial. Sayangnya, inisiatif ini justru dimatikan oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap berbahaya. Hari ini, sejarah itu seolah terulang. Inisiatif rakyat terpinggirkan oleh proyek birokrasi.
Di tengah krisis ekonomi dan ketimpangan yang makin mencolok, kita tak boleh lagi membiarkan koperasi jadi proyek kosmetik. Koperasi harus kembali ke akarnya: sebagai gerakan sosial-ekonomi yang hidup dari, oleh, dan untuk rakyat. Pemerintah harus berhenti menciptakan koperasi secara top-down. Sebaliknya, mereka perlu fokus membangun ekosistem koperasi: pendidikan koperasi sejak dini, akses pendampingan berkualitas, perbaikan regulasi yang adil, dan ruang legal untuk partisipasi sejati.
Koperasi adalah simbol harapan. Tapi harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika ia dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip sejatinya. Demokrasi ekonomi bukan sesuatu yang bisa dipaksakan dari atas. Ia hanya tumbuh jika rakyat diberi kepercayaan untuk memulainya. Maka, bila kita ingin membangun masa depan ekonomi yang adil dan inklusif, mari kuburkan praktik koperasi kosmetik, dan bangun kembali koperasi yang otentik—dari akar, bukan dari atap.