MAKLUMAT — Dalam beberapa event ngobrol soal nasib bangsa-negara yang dilanda korupsi intensif, ada pernyataan menarik seorang teman (bahasa Jawa): ‘Biyen korupsi di bawah meja, saiki sak-meja-meja ne diangkut’ (dulu korupsi sembunyi-sembunyi di bawah meja, sekarang mejanya pun ikut diangkut/dikorupsi terang-terangan).
Korupsi adalah tindakan merugikan negara, itu sudah dalil. Sayangnya pemahaman korupsi per-definisi hanya menjaring metode korupsi yang konvensional, misal: proyek fiktif, pemotongan anggaran ilegal, gratifikasi alias suap, penggelapan dan sebagainya.
Tetapi metode korupsi hari-hari ini sudah sangat canggih alias ‘smart’. Pengumpulan uang dari suatu proyek atau kebijakan publik, tidak bisa dikategorikan ‘korupsi’ ketika uang yang dikumpulkan melalui ‘kaki-tangan’ perusahaan atau orang kepercayaan, dalam suatu proyek besar (misal investasi, hilirisasi, impor, pembelian komoditas strategis dll).

Metode ini sulit dilacak dan dibuktikan adanya kerugian negara karena terlindungi oleh aturan legal dan kuat, dan pengumpulan uangnya ada dalam ranah bisnisnya yang terpisah secara sah dalam ‘hukum bisnis’ dan wajar. Metode ini bisa debatable kalau dituding sebagai korupsi versi konvensional.
Yang menjadi celah strategis dan tidak pernah dikhawatirkan adalah isu ‘conflict of interest’, dimaka oknum penguasa ikut terlibat dalam pelaksanaan proyek/kebijakan strategis melalui kaki tangan perusahaan bisnis, jauh di luar ranah anggaran negara. Ibarat sistem ‘blockchain’ dalam transaksi uang digital, sulit dilacak karena berpindah-pindah sesuai hukum bisnis.
Uang yang terkumpul disimpan kaki tangan, atau dihimpun dinegeri rahasia finansial tertutup seperti di Swiss, Kepulauan Cayman, Panama, dan lain-lain, yang tentu jumlahnya tidak kecil tetapi bermiliar dolar, dan bisa di gunakan sewaktu-waktu melalui jalur ‘investasi pihak ke-3, baik untuk kepentingan politik praktis maupun kepentingan pribadi pasca kekuasaan, tanpa warisan skandal korupsi.
Ini terjadi secara masif didepan mata, tetapi begitu rapi tersembunyi di balik berbagai narasi patriotik: kemajuan, kemakmuran, lapangan kerja, dan lain-lain, berdasarkan alur legalitas yang kokoh. Jadi istilah: ‘Biyen korupsi di bawah meja, saiki sak-meja-meja ne diangkut‘, kurang lebih inilah gambarannya. Mejanya diangkut tapi enggak bisa diprotes.
Transformasi Pola Korupsi
Di era Orde Baru (korupsi ‘bawah meja’) bersifat terstruktur namun terselubung dalam sistem patronase (ref: Crouch, 1979). Mekanisme seperti ‘uang administrasi’ atau proyek fiktif dikendalikan pusat (patron sebagai ‘top predator’ menurut studi Aspinall, 2013). Masyarakat tahu korupsi terjadi, tapi sulit dibuktikan karena represi politik.
Di era Reformasi (korupsi ‘mejanya dikorupsi’), di mana desentralisasi malah memunculkan ‘oligarki lokal’ (Hadiz, 2010) di mana korupsi menjadi makin terbuka dan sistematis, misal: mark-up, jual-beli jabatan. Nuansa semacam ‘legalisasi korupsi’ (menurut para pengamat) terjadi misal berupa pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK (2019) dan penggunaan aturan hukum untuk melindungi koruptor (Butt, 2019).
Penyebab pergeseran pola korupsi antara lain adalah: demokratisasi tanpa konsolidasi, di mana pasca reformasi 1998 tidak diiringi penguatan institusi (Mietzner, 2012). Partai politik bahkan menjadi mesin rente (Slater, 2014). Otonomi daerah memicu ‘banal corruption’ (Vargas, 2014) di mana korupsi anggaran terjadi secara masif di tingkat daerah.
Budaya Impunitas berkembang ditandai rendahnya penindakan (cuma 17% koruptor yang dipenjara lebih dari 5 tahun menurut ICW, 2023) dan sering terjadi bebas bersyarat.
Smart Corruption
‘Smart Corruption’ terjadi ketika konflik kepentingan membajak kebijakan publik. Modus operandinya ketika oknum penguasa merancang kebijakan strategis (misal hilirisasi, impor, pembelian komoditas) yang seolah pro-pembangunan, tetapi dialihkan ke korporasi tertentu tempat kroni atau keluarga mereka menjadi pemegang saham atau direksi.
Bungkus legalitas, di mana kepentingan pribadi dibungkus dengan retorika deregulasi dan efisiensi, menggunakan instrumen hukum (misal Perppu, Peraturan Menteri) untuk melegitimasi monopoli. Aturan ‘conflict of interest’ makin menjadi tidak penting dan diabaikan.
Skema keuntungan dari metode smart corruption, ditandai oleh adanya korporasi ‘terpilih’ yang mendapat (misal):
- Hak istimewa (monopoli impor, kuota produksi),
- Kontrak tanpa tender (kerjasama strategis),
- Subsidi atau disinsentif fiskal (tax allowance, dana insentif).
Smart corruption bisa membuat negara rugi triliunan akibat mark-up harga dan potensi pajak yang lenyap. Pasar dimonopoli sehingga UMKM tersingkir. Kebijakan tidak lagi berbasis fakta, melainkan kepentingan oligarki.
Logika utama dari siklus korupsi cerdas; dimulai dari kekuasaan, penetapan kebijakan dan desain kebijakan, mengakomodasi conflict of interest yang didukung ‘deregulasi’ atas nama kecepatan-kemudahan. Berdasarkan itu ada alokasi proyek ke korporasi kroni, yang menghasilkan keuntungan privat (tetapi sesungguhnya merugikan publik). Semua berjalan melalui proses dan prosedur legal, yang membedakan ruang-publik dan ruang bisnis.
Smart corruption adalah pembajakan kebijakan publik oleh konflik kepentingan, di mana negara tidak lagi direnggut diam-diam, tetapi dijarah melalui mekanisme legal yang dirancang pelakunya sendiri. Ini bukan korupsi receh, melainkan pencaplokan sistemik atas uang rakyat dengan jas dan dasi.
Apatisme Masyarakat
Masyarakat jenuh dengan skandal korupsi berulang tanpa solusi (Tempo, 2022), dan terjadi keletihan sosial (social fatigue). Hanya 24% publik percaya lembaga penegak hukum (LSI, 2023).
Korupsi dianggap ‘biasa’ karena terpapar terus-menerus (teori broken windows Wilson & Kelling, 1992). Teori ini menyatakan bahwa jika sebuah lingkungan fisik menunjukkan tanda-tanda kerusakan, atau kekacauan, maka hal ini dapat memacu perilaku kriminal dan kekacauan yang lebih serius.
Di tingkat masyarakat, menguat collective action problem (Ostrom, 1990) di mana masyarakat enggan melapor atau mendorong akuntabilitas. Situasi ini makin ‘mentradisi’ karena karakter sosiologis-kultural Jawa, terutama budaya “nrimo” dan patronase. Tradisi Jawa ‘ewuh pekewuh‘ (enggan konfrontasi) memudahkan korupsi (Magnis-Suseno, 1985).
Apabila terkombinasi dengan kapitalisme kroni (crony capitalism) di mana bisnis dan politik menyatu, maka akan memproduksi model korupsi sebagai ‘biaya transaksi’ (Robison-Hadiz, 2004). Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan individu, melainkan kegagalan sistemik. Perbaikannya memerlukan revolusi kultural dan reformasi struktural bersamaan.
‘Ngono Ya Ngono Ning Aja Ngono’: Moral Hazard
Pepatah Jawa ‘ngono ya ngono ning mbok aja ngono’ sebagai lensa kritis untuk memahami moral hazard, ambivalensi kultural dan titik balik kesadaran dalam sistem korupsi Indonesia.
Silahkan berbuat begitu, tapi jangan keterlaluan! yang mengemuka dalam berbagai obrolan grup WA, bukan sekadar kelakar. Ia adalah manifestasi ambivalensi moral masyarakat dalam ekosistem korupsi yang terinstitusionalisasi.
Pepatah ini merekam tiga lapis realitas sosial:
- Dilema hidup dalam sistem korup. Pepatah ini mengakui bahwa korupsi telah menjadi ‘air kolam’ tempat semua pihak berenang (termasuk politisi, pengusaha, atau profesional). Seperti dijelaskan Scott (1972) dalam Moral Economy of the Peasant, ketahanan hidup (survival rationality) sering memaksa individu berkompromi dengan sistem yang korup. Namun, batas ‘ojo ngono’ (jangan keterlaluan) menunjukkan kesadaran kolektif bahwa korupsi tetap dosa sosial, hanya saja dosa itu ‘diizinkan’ selama tidak melampaui ambang toleransi.
- Moral hazard sebagai fase transisi. Pepatah Jawa ini menandai fase transisi kesadaran antara kepasifan (nrimo) dan perlawanan total. Dalam teori perubahan sosial (Gramsci, 1971), ini adalah ‘wilayah abu-abu’ di mana masyarakat mulai kritis tetapi belum sepenuhnya membebaskan diri dari hegemoni sistem. ‘Mbok aja ngono’ adalah protes terselubung pengakuan bahwa korupsi telah ‘melampaui batas kemanusiaan’ saat “meja ikut dikorupsi” dan rakyat kecil dibiarkan menderita.
- Antara normalisasi dan resistensi. Frasa ‘ngono ya ngono‘ mencerminkan normalisasi korupsi (Ashforth & Anand, 2003), di mana praktik haram dianggap ‘lumrah’ selama ‘tak merusak tatanan’. Namun, frasa ‘aja ngono’ menyimpan benih resistensi kultural. Seperti api dalam sekam, ia bisa menyulut kesadaran bahwa korupsi bukan lagi soal ‘seberapa wajar’, melainkan soal seberapa banyak rakyat terluka.
Pepatah Jawa ini bukan pembenar korupsi, melainkan jejak psikologis masyarakat yang terjepit antara tuntutan hidup dan suara hati. Ia adalah pintu masuk untuk dekonstruksi sistem, dimulai dari mengubah aja ngono dari sekadar keluh kesah, menjadi aksi menolak legimitasi korupsi, sekecil apa pun peran kita.
Dalam sistem korup tidak ada orang ‘suci’. Pernyataan ini merupakan sinisme, namun seringkali realistis tentang bagaimana korupsi dapat merusak integritas individu dalam suatu sistem.
Beberapa faktor yang mendorongnya:
- Tekanan untuk berkompromi. Dalam sistem yang korup, individu seringkali dihadapkan pada tekanan besar untuk terlibat dalam praktik korup agar dapat bertahan dan maju. Menolak korupsi bisa berarti menghadapi hambatan, diskriminasi atau bahkan pembalasan.
- Normalisasi terjadi ketika korupsi merajalela dan praktik itu dianggap sebagai hal yang normal atau bahkan perlu. Orang mungkin berpikir bahwa semua orang melakukannya, bisa mengurangi rasa bersalah diri.
- Lingkaran setan korupsi. Untuk melawan korupsi perlu kekuasaan, tetapi kekuasaan dalam sistem korup seringkali diperoleh melalui korupsi itu sendiri.
- Paparan terus menerus tentang korupsi dapat mengikis nilai moral dan etika seseorang. Batasan antara yang benar dan salah menjadi kabur.
- Terkadang masalahnya bukan hanya pada individu, tetapi pada struktur dan aturan sistem itu sendiri yang by design dirancang atau memungkinkan korupsi.
Demokrasi Tanpa Kedaulatan, Pembangunan Tanpa Keadilan
Pepatah ‘ngono ya ngono ning aja ngono‘, meski terkesan kompromistis sebenarnya menyimpan peta jalan moral.
Pertama, ia mengakui kerentanan manusia dalam sistem rusak, tapi menolak pembenaran. Kedua, ia menetapkan batas etis: korupsi yang ‘keterlaluan’ adalah yang menyengsarakan publik (misal: korupsi dana bansos, kesehatan, atau pendidikan dan yang jumlahnya super besar). Ketiga, ia membuka ruang untuk aksi korektif sebagai pengingat kolektif bahwa kewajaran korupsi harus diganti dengan kewaskitaan (mindfulness) atas penderitaan rakyat.
Korupsi akan terus menjadi wajar selama kita membiarkan batas ‘keterlaluan’ yang terus bergeser. Titik baliknya dimulai ketika kita berani bertanya: ‘Jika korupsi selalu ada, lantas ruang mana yang tersisa untuk keadilan?’ Bagaimana masa depan anak-cucu generasi masa depan bangsa? Lalu bergeser pada kesadaran bagaimana sebaiknya membersih-kan sistem ini?
Ketika kebijakan bagus dibajak menjadi alat rente, yang tersisa hanyalah demokrasi tanpa kedaulatan, dan pembangunan tanpa keadilan.
Dan yang memang menjengkelkan adalah: dulu korupsi dilakukan di bawah meja. Tapi sekarang mejanya pun diangkut. Siapa yang mampu mengangkut ‘meja’ itu kalau bukan yang punya kuasa?. Apa ini akan masuk revisi buku sejarah? Wallahualam.