MAKLUMAT — Perseteruan antara Thailand dan Kamboja soal kepemilikan Candi Preah Vihear sudah berlangsung lebih dari setengah milenium. Perebutan situs suci yang terletak di puncak Pegunungan Dangrek ini bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Khmer pada tahun 1431, ketika pasukan Siam (kini Thailand) menyerbu ibu kota Angkor Thom.
Menurut studi Stanford University [PDF], candi yang dibangun untuk menghormati Dewa Siwa itu berdiri megah di tepi dataran tinggi yang mendominasi wilayah Kamboja. Candi Preah Vihear merupakan mahakarya arsitektur Khmer, terdiri dari serangkaian tempat suci yang dihubungkan oleh sistem tangga dan trotoar sepanjang 800 meter. Kompleks ini berasal dari abad ke-11, namun sejarah keagamaannya bisa ditelusuri hingga abad ke-9, saat pertama kali difungsikan sebagai pertapaan.
Letaknya yang terpencil membuat situs ini terpelihara sangat baik. Arsitekturnya bukan hanya memesona dari segi teknik bangunan, tetapi juga secara artistik menyatu dengan lanskap alam yang dramatis. Dekorasi batu pahatnya termasuk yang terbaik dari masa kejayaan Khmer. Tak heran jika pada 2008, Kamboja mengajukan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Namun langkah itu justru menyulut konflik. Thailand memprotes karena pendaftaran mencakup area di sekitar candi yang masih disengketakan. Padahal, Mahkamah Internasional (ICJ) telah memutuskan pada 1962 bahwa Preah Vihear sah milik Kamboja, meski lokasi geografisnya lebih mudah diakses dari Thailand.
Putusan ICJ berdasar pada peta kolonial Prancis tahun 1907 yang menunjukkan garis batas menyimpang dari punggungan Pegunungan Dangrek, sehingga menempatkan candi sepenuhnya di wilayah Kamboja. Thailand kala itu menerima tanpa protes resmi, dan pengadilan menilai mereka telah ‘diam menyetujui’ selama hampir lima dekade.
Ketika pemerintah Kamboja mengajukan situs itu ke UNESCO, gelombang protes muncul di Thailand. Pemerintah Samak Sundaravej yang semula mendukung pengajuan Kamboja pun menarik dukungannya setelah tekanan politik dalam negeri memuncak. Demonstrasi kelompok nasionalis “kuning” memanaskan situasi.
Tak butuh waktu lama, ratusan pasukan dari kedua negara dikerahkan ke wilayah perbatasan. Ketegangan mencapai puncaknya pada Juli 2008, tepat sehari setelah UNESCO resmi mengakui Preah Vihear sebagai warisan budaya dunia. Baku tembak sempat terjadi, menewaskan dan melukai beberapa tentara dari kedua pihak.
Arsitektur Khmer
Di tengah ketegangan itu, nilai universal Candi Preah Vihear kerap terabaikan. UNESCO mencatat bahwa candi ini memenuhi Kriteria (i) sebagai mahakarya arsitektur Khmer yang luar biasa, baik dalam hal rencana denah, harmonisasi dengan lanskap sekitarnya, maupun kekayaan ornamen ukirannya.
Keaslian material, struktur bangunan, dan bentuk simbolik candi tetap terjaga. Meski sebagian kecil wilayah sekeliling properti mengalami gangguan integritas, perlindungan hukum dan pengelolaan kawasan ini terus ditingkatkan. Rencana Pengelolaan komprehensif tengah difinalisasi agar warisan ini tetap lestari.
Namun sayangnya, para pemimpin politik di Bangkok dan Phnom Penh justru menjadikan sejarah Preah Vihear sebagai senjata politik. PM Hun Sen bahkan menunjuk Thaksin Shinawatra—musuh politik berat PM Thailand Abhisit Vejjajiva—sebagai penasihat ekonomi, membuat situasi makin panas.
Jembatan Perdamaian
Pengamat menilai bahwa sejarah yang kompleks telah disederhanakan menjadi narasi nasionalisme sempit. Padahal, masyarakat di sekitar Preah Vihear memiliki akar budaya dan leluhur yang sama. “Candi ini seharusnya jadi simbol penyatuan budaya, bukan medan konflik,” kata salah satu analis Asia Tenggara.
Preah Vihear kini tak hanya menjadi situs keagamaan, tapi juga medan diplomasi, simbol identitas, dan—ironisnya—sumber ketegangan. Padahal, dunia berharap agar situs suci ini bisa menjadi jembatan perdamaian, bukan penyebab pertumpahan darah.
Comments