DI SEBUAH negara menjelang pemilu, terjadi kehebohan. Si Dul adalah seorang calon presiden yang sangat bersemangat; ia bagi-bagi uang dan sembako, serta melakukan kecurangan, agar dirinya terpilih; ia tidak peduli apakah bangsa semakin bodoh atau tidak. Ternyata ia sukses, terpilih. Apakah pemilunya jujur atau curang tidak urusan. Yang penting menang dan berkuasa. Lho, kok bisa? Itulah resiko demokrasi. Sekalipun itu hanya sampai batas demokrasi prosedural, tidak substantif. Kecurangan pun tidak masalah bila hasilnya disahkan oleh mahkamah yang berwenang. Kasus itu menggambarkan dilema demokrasi.
Bangsa Indonesia telah sepakat memilih demokrasi sebagai jalan untuk mewujudkan negera kesejahteraan (welfare state). Demokrasi tentu bukan barang sempurna yang serta-merta menjamin semua urusan akan terselesaikan. Namun demikian, demokrasi diyakini sebagai sistem terbaik dari sekian banyak sistem yang ada sampai saat ini. Sekalipun tentu tidak identik dengan Islam tetapi sistem demokrasi adalah yang paling mendekati konsep musyawarah dibanding sistem lainnya. Demokrasi bisa berjalan seiring dengan Islam. Ini tergantung bagaimana menjalankan nilai-nilai Islam dalam sebuah negara demokrasi. Cara berfikir inilah yang tekandung dalam paradigma “Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah,” sebuah rumusan sangat cerdas yang dilahirkan Muhammadiyah.
Tampaknya kita belum bisa bergembira dengan perkembangan demokrasi di negara kita. Kemunduran demokrasi menghambat perjalanan menuju kesejahteraan. Hal ini tercermin dalam perkembangan politik saat ini, khususnya menjelang pemilu. Demokrasi melenceng dengan munculnya gejala korupsi. Pemilu tidak mengeskpresikan kehendak rakyat secara substantif. Praktek politik uang, penyalahgunaan kekuasaan, dan potensi kecurangan mendeviasi nilai-nilai demokrasi. Pemilu yang seharuskan berfungsi untuk mencerdaskan rakyat berubah menjadi pembodohan. Sejatinya, pemilu akan bermanfaat apabila menjadi ajang pencerdasan dan pencerahan, bukan sebaliknya.
Ada juga soal independensi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokrasi harus ditopang oleh independensi masing-masing lembaga itu. Silang sengkarut terjadi karena dominasi salah satunya. Bila lembaga pemerintah membuat lembaga lainnya tidak berkutik, maka praktek demokrasi sedang dalam masalah. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung pasti korup (power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely). Jika pemerintah mengendalikan lembaga pembuat dan penegak hukum, di situlah demokrasi mengalami deviasi. Gejala ini terasa dalam proses pemilu.
Bagaimana kita bisa memperbaiki nasib rakyat lewat pemilu? Di sinilah problemnya. Terjadi hukum sebab-akibat; ada lingkarang setan sehingga sulit mencari sebab mundurnya demokrasi yang kita saksikan, dan bagaimana kita menyehatkannya. Lingkaran setan itu terjadi ketika kita melihat hubungan antara rakyat dan pemimpin. Persoalannya ialah mana yang harus baik lebih dahulu, rakyat atau pemimpin. Rumusannya adalah rakyat yang tercerahkan cenderung melahirkan pemimpin yang tercerahkan pula. Demikian juga, pemimpin yang tercerahkan cenderung melahirkan rakyat yang tercerahkan. Itu rumus demokrasi dengan tetap ada kemungkinan anomali.
Di lapangan terjadi demikian. Rakyat yang miskin harta maupun moral akan mudah diarahkan untuk memilih pemimpin yang tuna moral, yang membagi-bagi uang dan sembako untuk menarik pemilih. Karena itu, yang punya peluang besar terpilih adalah pemimpin yang amoral. Semakin amoral, semakin besar peluang untuk terpilih. Selanjutnya pemimpin amoral akan berusaha memperbodoh rakyat. Pemimpin yang terpilih dengan cara seperti itu akan merusak mental rakyat. Pemimpin seperti itu tidak akan melakukan pendidik politik karena menikmati kebodohan pemilih. Pemilu saat ini adalah momen yang sangat menentukan untuk memperbaiki kondisi bangsa. Kalau kita tidak manfaatkan dengan baik, maka pemilu akan menjadi ajang penghancuran bangsa. Bangsa Indonesia akan semakin terpuruk.
Melihat lingkaran setan seperti itu, sesungguhnya kita bisa memilih dari mana kita harus mulai memperbaiki nasib bangsa. Sebagai kepala negara dan pemerintahan, presiden punya peran yang sangat vital untuk memutus lingkaran setan itu. Presiden yang baik akan berjuang untuk mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Presiden memiliki fungsi pencerahan, fungsi pendidikan politik. Presiden yang baik akan meningkatkan kualitas rakyatnya. Pada gilirannya, rakyat yang tercerahkan nantinya akan memilih pemimpin yang baik. Rakyat yang baik akan memilih partai politik dan politikus yang baik. Jika partai politik baik, maka yang berkuasa di lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD) adalah orang-orang baik. Anggota dewan yang baik akan melahirkan undang-undang yang baik dan kepala-kepala lembaga negara yang baik. Jadi memilih presiden yang baik menjadi titik awal memutus lingkaran setan.
Karena itu, marilah kita pilih pemimpin yang cerdas dan bermoral, yang membuat bangsanya cerdas dan bermoral, bukan pemimpin yang menghancurkan masa depan bangsa. Tidak ada kata putus asa dalam berjuang. Selalu ada harapan. Sekali lagi, mari kita jadikan pemilu sebagai pemutus lingkaran setan.
Syafiq A. Mughni, Penulis adalah Ketua PP Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah MATAN edisi 211 (Februari2024)