Majelis Tarjih Muhammadiyah Kaji Hukum “Saweran” Streamer: Antara Sedekah dan Mengemis Digital

Majelis Tarjih Muhammadiyah Kaji Hukum “Saweran” Streamer: Antara Sedekah dan Mengemis Digital

MAKLUMATMajelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengkaji fenomena “saweran” atau gift digital yang kian marak di kalangan streamer. Profesi baru ini melahirkan pertanyaan syariat Islam mengenai hukum menerima pemberian dari penonton.

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ustaz Mukhlis Rahmanto, mengamati fenomena ini secara mendalam.

“Sekarang kita menyaksikan banyak sekali orang melakukan live streaming, bahkan ada yang bisa siaran 24 jam. Penontonnya bukan hanya menonton, tetapi juga memberikan gift, hadiah, atau yang biasa disebut saweran,” ujar Mukhlis dalam Pengajian Tarjih Muhammadiyah secara daring, Rabu (5/11/2025).

Bergantung Niat dan Manfaat

Mukhlis menjelaskan, prinsip dasar Islam membolehkan semua profesi selama tidak bertentangan dengan syariat. Nabi Muhammad Saw hanya melarang profesi yang jelas-jelas haram, seperti upah dari hasil pelacuran.

Namun, ia menegaskan bahwa hukum profesi streamer tidak otomatis halal atau haram. Hukumnya sangat bergantung pada niat dan manfaat yang dihasilkan.

“Kalau tujuannya memberikan edukasi, dakwah, atau hiburan yang bermanfaat, maka jelas boleh. Tapi kalau hanya untuk mengemis simpati atau menarik saweran, itu perlu diwaspadai,” jelasnya.

Batasan Saweran: Sedekah vs Mengemis

Mukhlis membedakan secara tegas antara sedekah yang bernilai ibadah dengan tabzir (pemborosan) yang sia-sia. Ia mengutip Surah Al-Ma’arij ayat 24–25, yang menunjukkan bahwa Islam mengarahkan pemberian harta kepada “orang yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.”

Baca Juga  Makan Gaji Buta di DPR RI: Nonaktif, Hak Istimewa Jalan Terus

Menurutnya, ayat ini menegaskan bahwa pemberian baru bernilai ibadah jika tertuju kepada yang membutuhkan.

“Kalau streamer itu sudah berkecukupan, bahkan artis terkenal, tetapi masih meminta saweran, maka itu termasuk kategori man sa’alan-nasa min ghairi faqrin—meminta tanpa kebutuhan,” tegas Mukhlis.

Ia lantas mengutip hadis riwayat Muslim untuk memperkuat argumennya. “Nabi bersabda, ‘Barang siapa meminta kepada manusia tanpa fakir, maka seolah ia memakan bara api,’” ujarnya.

Mukhlis menandaskan, perilaku mengandalkan saweran sebagai sumber penghidupan tanpa usaha produktif dapat menyerupai “mengemis digital”.

“Kalau hidupnya bergantung pada saweran, padahal masih kuat bekerja dan mampu mencari penghidupan lain, maka ini tidak dibenarkan. Islam mendorong umatnya untuk bekerja, bukan menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain,” tandasnya.

Bahaya “Tantangan Berhadiah”

Mukhlis juga menyoroti fenomena “tantangan berhadiah” di TikTok. Dalam praktik ini, streamer kerap melakukan tindakan ekstrem atau berbahaya demi mendapatkan saweran dalam jumlah tertentu.

“Itu jelas termasuk tindakan sia-sia dan mubazir, bahkan bisa membahayakan diri. Padahal Rasulullah Saw bersabda, la dharara wa la dhirār—tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain,” ujarnya.

Ia membandingkan saweran dalam konteks budaya Indonesia. Fenomena ini bukanlah hal baru. Mukhlis mencontohkan saweran untuk menghargai bacaan qari atau mengapresiasi penghafal Al-Qur’an, yang ia nilai sebagai sedekah positif.

Sebaliknya, saweran bisa berkonotasi negatif ketika terjadi dalam acara hiburan tanpa nilai manfaat, seperti saweran kepada biduan.

Baca Juga  Tanggapan Muhammadiyah Terhadap 33 Kritik KHGT, Soroti Otoritas dan Verifikasi Hilal

“Jadi, yang perlu dilihat adalah motif dan tujuannya. Kalau diarahkan untuk kebaikan, itu sedekah. Tapi kalau hanya hiburan tanpa nilai, bahkan mendekati maksiat, maka menjadi tabzir,” jelasnya.

Bijak Memberi dan Menerima

Meski demikian, Mukhlis tidak menutup ruang bagi profesionalitas di dunia digital. Ia mencontohkan streamer yang menyiarkan konten dakwah, literasi, edukasi publik, atau gaming dengan tetap menjaga etika, disiplin, dan tidak melalaikan kewajiban.

“Kalau tujuannya baik dan tidak melalaikan kewajiban seperti salat, tidak masalah,” pesannya.

Pada akhir pengajian, Mukhlis mengajak umat Islam untuk bijak dalam memberi dan menerima di era digital.

“Memberi itu baik, tapi harus tahu kepada siapa dan untuk apa. Jangan sampai sedekah berubah menjadi pemborosan hanya karena ingin dinotice atau dianggap keren di dunia maya,” ujarnya.

Ia menyimpulkan bahwa kedermawanan masyarakat Indonesia yang tinggi patut disyukuri. “Tinggal bagaimana semangat memberi itu diarahkan agar tepat sasaran dan bernilai ibadah,” pungkasnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *