30.8 C
Malang
Sabtu, November 23, 2024
OpiniMenanti Langkah Strategis Indonesia untuk Palestina

Menanti Langkah Strategis Indonesia untuk Palestina

Ilustrasi PalestinaMAKLUMAT — Krisis kemanusiaan Palestina seolah tak pernah berakhir. Ketika berkesempatan belajar hukum internasional di Columbia University, New York, pada 2003, saya bersama ribuan orang beragam ras bangsa memenuhi jalan-jalan kota New York menuntut Amerika untuk menghentikan serangan. Kami berdemo di depan markas PBB dan menuntut PBB segera menghentikan invasi ilegal Amerika di Irak.

Dosen saya, Michael Ratner dan Reed Brody ikut terlibat mendorong pemberlakuan jurisdiksi universal agar bisa mengadili pemimpin Israel di pengadilan Belgia.

Penulis: Usman Hamid *

Enam tahun kemudian, pada 2009, ketika belajar kembali di Nottingham University, saya dan ribuan mahasiswa kembali berdemo menentang serangan Israel terhadap penduduk sipil ke jalur Gaza.

Kali ini kami menyasar gerai Starbucks yang terletak di kampus. Saham gerai ini memiliki keterkaitan dengan bisnis yang menopang kekuatan militer Israel. Ketika kantor nasional Amnesty Internasional baru berdiri di Jakarta, kami memilih kampanye Palestina sebagai prioritas isu global pada tahun pertama.

Bertahun kemudian, krisis kemanusiaan di Palestina belum juga berakhir. Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Izinkan saya mengajukan tiga langkah strategis Indonesia untuk menyikapi krisis Palestina.

Pertama, mengoptimalkan peran RI di Sidang Majelis Umum PBB. Kedua, mengoptimalkan keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM PBB agar mendukung pelaksanaan prosedur-prosedur khusus seperti pelapor khusus dan komisi penyelidik. Ketiga, memperkuat posisi dan kedudukan Indonesia di PBB dengan meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan krisis kemanusiaan di Palestina.

Optimalisasi Sidang Majelis Umum PBB

Sidang Majelis Umum PBB adalah forum pertemuan terpenting di PBB. Sekadar menyebut contoh, pada tanggal 18 September, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menuntut Israel untuk mengakhiri kehadirannya yang melanggar hukum di Wilayah Palestina yang Diduduki (OPT) dalam waktu 12 bulan, sesuai dengan pendapat penasihat Mahkamah Internasional (ICJ) pada bulan Juli.

Resolusi Majelis Umum PBB disahkan dengan 124 suara mendukung (termasuk negara anggota DK PBB seperti Perancis, Cina, dan Russia), 43 abstain, dan 14 suara menentang, termasuk AS dan Israel.

Resolusi yang diajukan oleh Negara Palestina didasarkan pada pendapat penasihat ICJ pada bulan Juli yang menyatakan bahwa keberadaan Israel yang berkelanjutan di OPT adalah ilegal dan bahwa permukiman harus disingkirkan secepat mungkin. Kita tentu mengapresiasi sikap Pemerintah Indonesia

Dalam Majelis Umum tersebut, Presiden Turki Erdogan mengatakan bahwa negaranya berada di jantung krisis dan perang di kawasan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir PBB telah menjadi tidak berfungsi – “dunia lebih besar dari lima”. Erdogan menyerukan PBB untuk membangun mekanisme perlindungan bagi warga sipil Palestina

Forum sepenting ini memang kerap menjadi forum penyampaian solusi oleh kepala negara. Pemimpin negara Indonesia di masa lalu khususnya pada awal kemerdekaan juga kerap menyampaikan pidato kenegaraan terkait situasi perang dunia.

Sayangnya, kita tidak mendengar seruan presiden Indonesia di forum tertinggi tersebut. Selama sepuluh tahun terakhir, Presiden Republik Indonesia nyaris selalu absen dari Sidang ini. Tahun kesatu absen, tahun kedua absen, demikian pula tahun-tahun setelahnya. Hanya satu kali hadir, yaitu pada tahun 2020. Itu pun secara online yaitu pada waktu pandemi.

Kehadiran tersebut kerap kali diwakili oleh Wakil Presiden. Nah ke depan, apabila presiden masih tidak hadir, saya tidak membayangkan bagaimana jika ke depan Republik Indonesia diwakili oleh Fufufafa.

Di forum tertinggi PBB ini pula disampaikan bagaimana otoritas Israel melarang sebagian besar jurnalis internasional memasuki Jalur Gaza yang diduduki untuk meliput perang yang sedang berlangsung. Mereka memperluas tindakan keras mereka terhadap media ke Tepi Barat.

Pada 23 September lalu, otoritas Israel menyerbu kantor Al Jazeera di Ramallah dan mengeluarkan perintah pengadilan yang mengamanatkan penutupan kantor tersebut selama 45 hari

Ini bukan pertama kalinya otoritas Israel menutup kantor Al-Jazeera. Pada bulan Mei 2024, pasukan Israel menyerbu kantor Al Jazeera di Yerusalem Timur yang diduduki. Keputusan tersebut berdasarkan undang-undang baru yang dikenal sebagai “Undang-Undang Al Jazeera”.

Undang-undang ini memberi wewenang kepada menteri telekomunikasi, dengan persetujuan Perdana Menteri, untuk mengambil tindakan represif atas media asing, yang menyiarkan konten yang dianggap menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional selama perang di Gaza.

Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, setidaknya 116 jurnalis dan pekerja media lainnya telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023. Hal ini menjadikannya periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada tahun 1992.

Keberadaan CPJ seperti ini sangatlah penting. Kami sendiri, Amnesty Internasional, mendirikan sebuah aliansi aktor-aktor masyarakat sipil membentuk Komite Keselamatan Jurnalis.

Serangan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina selama setahun terakhir. Ini artinya situasi di Gaza benar-benar genting. Indonesia harus benar-benar mengambil peran yang benar-benar strategis dalam pergaulan dunia.

Optimalisasi Sidang Dewan HAM PBB 

Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB. Indonesia telah lama menjadi anggota Dewan HAM PBB sejak didirikan pada tahun 2006,  terpilih kembali untuk masa jabatan 2024-2026.

Selama masa jabatannya di UNHCR, rekam jejak Indonesia dalam bidang hak asasi manusia masih meresahkan dan agak bertentangan dengan prinsip-prinsip Dewan HAM PBB. Negara ini perlu menjalankan perannya di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) lebih dari sekadar kursi simbolis.

  • Pelapor Khusus

Dewan HAM memiliki seperangkat prosedur khusus untuk menyikapi situasi HAM di sebuah negara, termasuk Palesitina. Dewan HAM memiliki Pelapor Khusus untuk Palestina. Pelapor Khusus adalah pakar independen yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memantau dan melaporkan situasi hak asasi manusia di Wilayah Palestina yang Diduduki

Tugas Pelapor Khusus adalah menilai situasi hak asasi manusia di Wilayah Palestina yang Diduduki, melaporkannya kepada publik, dan bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak lain untuk mendorong kerja sama internasional.

Pelapor Khusus melakukan kunjungan atau misi rutin ke Wilayah Palestina yang Diduduki dan melaporkannya setiap tahun kepada Dewan Hak Asasi Manusia. OHCHR memberikan bantuan logistik dan teknis kepada pemegang mandat.

Mandat Pelapor Khusus berasal dari resolusi tahun 1993 dari Komite Hak Asasi Manusia. Mandat tersebut meminta Pelapor Khusus: “Untuk menyelidiki pelanggaran Israel terhadap prinsip dan dasar hukum internasional, hukum humaniter internasional, dan Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Warga Sipil di Masa Perang, tanggal 12 Agustus 1949, di wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak tahun 1967; Untuk menerima komunikasi, mendengarkan saksi, dan menggunakan prosedur yang dianggap perlu untuk mandatnya; dan

Untuk melaporkan, beserta kesimpulan dan rekomendasinya, kepada Komisi Hak Asasi Manusia pada sidang-sidang berikutnya, hingga berakhirnya pendudukan Israel di wilayah-wilayah tersebut.

Pada Awal April 2024, Dewan Hak Asasi Manusia Mengadopsi Lima Resolusi, termasuk Teks yang Menyerukan Gencatan Senjata Segera di Gaza, Mendesak Negara-negara untuk Mencegah Pemindahan Paksa Warga Palestina di Dalam atau dari Gaza, dan Menyerukan Negara-negara untuk Menghentikan Penjualan atau Pemindahan Senjata ke Israel

Melalui resolusinya, pada awal Agustus 2024, Dewan Hak Asasi Manusia memutuskan untuk “segera membentuk komisi penyelidikan internasional yang independen dan berkelanjutan untuk menyelidiki, di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan di Israel, semua dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan pelanggaran hak asasi manusia.

  • Comission of Inqui

Komisi Penyelidikan Wilayah Palestina yang Diduduki Menyimpulkan bahwa Otoritas Israel dan Hamas Sama-sama Bertanggung Jawab atas Kejahatan Perang – Dewan Hak Asasi Manusia PBB (19 Juni 2024). Dewan Hak Asasi Manusia pagi ini memulai dialog interaktif dengan Komisi Penyelidikan Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan di Israel.

Navi Pillay, Ketua Komisi Penyelidikan Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan di Israel, mengatakan sejak 7 Oktober, Komisi telah melakukan dua penyelidikan paralel: pertama, terhadap serangan oleh Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di Israel pada 7 dan 8 Oktober dan, kedua, terhadap operasi dan serangan militer Israel di Gaza antara 7 Oktober dan 31 Desember.

Terkait dengan operasi dan serangan militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober, Komisi menyimpulkan bahwa otoritas Israel bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional.

Pengepungan total Israel di Jalur Gaza telah menjadikan penyediaan kebutuhan hidup sebagai senjata untuk keuntungan strategis dan politik, termasuk melalui pemutusan pasokan air, makanan, listrik, bahan bakar, dan pasokan penting lainnya, termasuk bantuan kemanusiaan. Komisi menemukan pasukan Israel melakukan kekerasan seksual dan berbasis gender dengan maksud untuk mempermalukan dan semakin menindas masyarakat Palestina.

Saat Indonesia kembali mengambil perannya sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia harus menyadari beratnya tanggung jawabnya dan mengambil tindakan konkret untuk mengatasi tantangan hak asasi manusia di wilayahnya sendiri dan juga belahan dunia lain.

Sekadar memperlakukan keanggotaan sebagai isyarat status simbolis tidaklah cukup dan melemahkan mandat dewan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia.

Terlebih lagi, pada tahun 2023, ketika negara itu terpilih kembali sebagai anggota UNHRC untuk keenam kalinya, terjadi lonjakan serangan terhadap hak asasi manusia di dalam negeri seperti Papua, dan di luar negeri seperti Myanmar, Ukraina, dan Palestina.

Optimalisasi Kedudukan RI melalui Ratifikasi

Di tingkat internasional, termasuk dalam forum Dewan HAM PBB, keterlibatan Indonesia dalam menangani krisis hak asasi manusia global, seperti yang terjadi di Gaza, Ukraina, dan Myanmar, terbatas yaitu pada sekadar setuju, menolak, atau abstain atas rancangan sebuah resolusi.

Salah satu alasan mengapa Indonesia terbatas adalah karena tidak juga meratifikasi konvensi-konvensi penting seperti Konvensi Genosida (1948), Konvensi Pengungsi (1951), Konvensi Apartheid (1973), dan Statuta Roma (1998). Mengapa ratifikasi perjanjian internasional tersebut sangat penting?

Kekuatan unik dari Konvensi Genosida memungkinkan genosida ditafsirkan dari berbagai macam tindakan, yang memungkinkan pengadilan untuk menghukum tindakan-tindakan yang secara tidak langsung menyebabkan genosida, serta tindakan-tindakan yang secara lebih langsung mengarah pada genosida terhadap suatu kelompok etnis tertentu.

Afrika Selatan yang kini mendapat pujian dunia karena langkahnya di ICJ adalah negara yang meratifikasi Konvensi ini. Mengapa dari 153 negara pihak Konvensi Genosida, hanya Afrika Selatan yang mengajukan gugatan?

Bisa jadi karena pemimpin-pemimpin Afrika Selatan benar-benar belajar dari sejarah masa lalu, yaitu hidup kelam di bawah sistem apartheid. Afrika Selatan adalah negara yang menerima hukum-hukum internasional dan pemimpin negara tersebut memiliki komitmen kuat untuk menjamin ketidakberulangan sejarah kelam mereka di masa depan.

Mereka juga tidak ingin apa yang pernah mereka alami di masa silam lalu dialami oleh bangsa lain. Negara lain juga memiliki sejarah kelam, tapi pemimpinnya masih ragu untuk mengikatkan diri dalam pergaulan dunia yang didasarkan pada hukum-hukum internasional.

Selain Konvensi genosida, Indonesia juga perlu meratifikasi Konvensi Pengungsi. Sebab kejahatan paling serius seperti genosida selalu menyebabkan terjadinya pengungsian lintas batas negara. Bukan hanya di Palestina, tetapi juga terjadi di negara yang terletak dekat dengan kawasan Asia Tenggara, yaitu Myanmar.

Sekitar hampir satu juta orang telah mengungsi akibat serangan militer Myanmar yang berakibat krisis kemanusiaan warga minoritas etnis muslim Rohingya di Northern Rakhine. Banyak dari pengungsi hingga kini tinggal di negara lain, terutama di Bangladesh.

Indonesia kerap menjadi tempat mereka untuk mencari perlindungan. Namun setiap kali terdapat pendaratan kapal yang mengangkut mereka, kerap muncul polemik apakah Indonesia wajib menangani pengungsi.

Hingga persidangan terakhir PBB pada tahun 2024, Indonesia masih diminta meratifikasi Konvensi ini. Dalam salah satu kesimpulan observasinya tertanggal 28 Maret 2024, Komite Hak Asasi Manusia PBB merekomendasikan Indonesia untuk “memperkuat pemahaman tentang Konvensi dan Protokol Status Pengungsi 1951 yang berkaitan dengan Statuta Pengungsi 1967 di antara para pengambil keputusan.”

Indonesia akan lebih kuat kedudukannya menentang praktik Israel menginjak-injak hukum internasional apabila Indonesia juga meratifikasi Konvensi Apartheid. Apartheid adalah tindakan yang melanggar Piagam PBB. Konvensi Apartheid telah menegaskan bahwa sebagai langkah terakhir dalam mengutuk apartheid, tindakan ini telah dinyatakan sebagai tindakan kriminal.

Bagaimana pun, kejahatan apartheid dan genosida yang memicu pengungsian manusia itu dilakukan oleh seseorang yang memegang sumber daya besar, termasuk pasukan militer dan senjata. Mereka harus diadili ke pengadilan guna diminta pertanggungjawaban pidana atas kejahatan mereka.

Mekanisme untuk tujuan ini dapat ditempuh melalui penegakan hukum di Mahkamah Pidana Internasional. Oleh karena itu akan lebih kuat lagi apabila Indonesia meratifikasi ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.

Statuta ini memuat aturan yang jelas tentang kejahatan genosida sebagai salah satu dari empat kejahatan paling serius (most serious crimes). Kejahatan paling serius lainnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai anggota dewan dengan lebih baik, Indonesia harus memprioritaskan pengesahan perjanjian-perjanjian internasional ini.

Indonesia juga perlu kembali mengagendakan ratifikasi Statuta ini. Ratifikasi statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional telah masuk dalam Rencana Aksi nasional HAM I (1998-2003), RANHAM II (2003-2008), RANHAM III (2009-2014), RANHAM IV (2014-2019), tetapi tidak tercantum lagi dalam RANHAM V (2019-2024).

Jika ditelusuri, tampak adanya keraguan untuk meratifikasi statuta ini atas alasan kekhawatiran bahwa statuta ini dapat diberlakukan untuk Indonesia. Bukankah sebuah hukum seharusnya memang berlaku untuk semua? Bukankah itu sebuah politik standar ganda jika kita hanya memberlakukan sebuah hukum untuk orang lain yang tidak mengikat kita?

RANHAM disusun atas sebuah kesadaran kolektif komponen bangsa bahwa Indonesia telah memiliki sejarah kekerasan yang panjang di masa lalu, termasuk kekerasan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida. Dengan ratifikasi Statuta ini, maka komitmen Indonesia menjadi tak perlu diragukan lagi

Tentu saja, selain harus secara aktif mengoptimalkan mekanisme PBB, Indonesia pun harus mengatasi sejumlah besar masalah hak asasi manusia di dalam negerinya. Mulai dari yang terkait dengan konflik lahan, kerusakan lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat, yang berkontribusi terhadap krisis iklim, perdagangan manusia, dan kekerasan seksual di semua sektor termasuk. Masalah-masalah ini menuntut perhatian mendesak dan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan keadilan bagi para korban dan akuntabilitas bagi para pelaku.

Singkatnya, untuk benar-benar mewujudkan komitmennya pada hak asasi manusia, Indonesia harus mengatasi pelanggaran hak asasi manusia internal, meratifikasi konvensi-konvensi utama, dan secara aktif bekerja sama dengan mitra internasional untuk memajukan perjuangan hak asasi manusia di tingkat lokal dan internasional. Sebab itu juga merupakan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia di masa lalu.

*Direktur Amnesty Internasional Indonesia.                             

*Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP)

 

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer