MAKLUMAT — Penanda khas negara Weberian adalah kepemilikan hak monopoli untuk melakukan kekerasan yang diklaim sah. Tindak tanduk kekerasan ini dimulai dari upaya mencari legitimasi untuk memituskan suatu keadaan disebut darurat atau normal-normal saja.
Agus Sudibyo (2019) dalam bukunya Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agambe dinyatakan, deklarasi status darurat merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana mestinya sehingga prinsip tersebut dianulir untuk sementara waktu.
Banyak orang gerah lalu bilang Indonesia tidak baik baik saja. Lalu buzzer yang diberiakhiran ‘rp’ (baca: Buzzerp) itu bekerja keras untuk membangun narasi tanding: Indonesia hebat dan baik-baik saja. Kelompok yang gelisah dan melihat fakta tak baik-baik saja menyiratkan krisis, tidak normal, anomali, kritis, darurat dan bahaya. Sementara kelompok pendengung pasca atau prabayar itu mencoba memenangkan pertempuran dengan memutar fakta dan bahkan melalukan doxing dan peretasan.
Kapan Darurat Adalah Darurat, Krisis Adalah Krisis?
Sering kali keadaan krisis tidak dirasakan seperti krisis. Pun begitu situasi darurat direspon dengan biasa-biasa saja oleh lembaga otoritas. Cerita ini seperti analogi katak hidup yang direbus. Karena air mendidih pelan-pelan, katak hanya berusaha beradaptasi perlahan lalu menjadi katak rebus. Krisis lingkungan juga demikian, korupsi juga demikian adanya, dan militerisasi bisa jadi akan berakhir pada petaka.
Kita mulai dari yang biasa akrab terdengar dan nampak alamiah, benar, atau tidak politis: penetapan status darurat narkotika, darurat covid, darurat terorisme, darurat radikalisme, darurat bencana alam.
Bagaimana dengan darurat judol/pinjol, darurat iklim, darurat deforestasi, darurat kebakaran hutan, darurat keamanan digital, darurat pencemaran merkuri di sungai, darurat politik uang, darurat atau krisis ekonomi? Sebagai contoh kita taruh laporan riset berasal satu site ribuan izin pertambangan. Hasil penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako membuktikan Sungai Ake Jira dan Ake Sagea yang berada di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, telah tercemar logam berat. Pengujian terhadap sampel air sungai menunjukkan kadar logam berat di sana, yaitu kromium dan nikel, melebihi standar Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau US Environmental Protection Agency (USEPA). Apakah ini tidak darurat? Pemerintah tidak mendaruratkan kondisi ini bahkan mengupayakan riset yang memadai pun tidak.
Sebagian besar golongan darurat kedua ini bisa dilabeli politis bahkan bisa diwahabikan dan dikriminalisasi apabila mengganggu status quo dari oligarki SDA.
Karena negara tidak netral di sinilah sumber penormalan dan pendaruratan kehilangan integritas, obyektifikasi dan legitimasi.
Semua keadaan darurat (dengan derajat obyektifikasi) bisa diberikan keputusan serta dinyatakan para menteri bahlan presiden atau panitia penyelenggara negara sebagai keadaan wajar dan normal. Pihak yang mendaruratkan adalah antek asing karena dibiayai asing. Sementara negara dan pemda yang juga dibiayai donor dan hutang asing tidak mendaku dirinya sebagai antek asing dan aseng.
Pelajaran penting dalam kedaan darurat yang bisa memperparah keadaan darurat adalah hak monopoli tafsir kebenaran. Para pemburu rente juga dengan gampang membela penambangan pulai kecil yang merupakan pelanggaran undang undang dapat dicarikan dalil agamanya agar nampak sah secara moral etis.
Membaca wacana status darurat ini saya belajar cepat dari buku-disertasi Agus Sudibyo asal Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang diterbitkan oleh Marjin Kiri tahun 2019. Judul aslinya disertasinya sangat provokatif: “Normalisasi Status-Darurat sebagai Potensialitas dalam Negara Demokrasi: Telaah Kritis atas Pemikiran Politik Giorgio Agamben.” Buku yang sangat penting dan punya relevansi kuat apa yang terjadi di muka bumi hari ini.
Giorgio Agamben sendiri merupakan filosof asal Italia kelahiran Roma tahun 1942. Bukunya diterjemahkan beberapa di Indonesia. Kontribusi pikirannya mengenai status darurat dalam negara demokrasi. Jadi, demokrasi bukanlah sistem yang memberikan kewenangan publik untuk menentukan status darurat. Ingat, saat warga berteriak lockdown hadapi covid, negara bilang tidak dan hanya pembatasan sosial yang ala kadarnya hingga korban bertumbangan. Namun takyat berjuang secara amatir ihwal karantina dan lockdown masa pandemi covid-19.
Praktik menjalankan negara hukum oleh aktor yang diproduksi dari pemilu yang liberal menjadikan demokrasi hanyalah casing semata. Para pemain sekaligus regulator terlihat kasat mata soal UU Cipta Kerja Karena mayoritas anggota parlemen adalah pengusaha, teman pengusaha, dan calon pengusaha maka tertutuplah pintu ijtihad untuk memperjuangkan obyektifitas agar yang darurat adalah darurat dan yang krisis adalah krisis, gelap adalah gelap. Perbaikan pemilu adalah prasyarat pembentukan politik yang humanis, autentik dan obyektif.
Apa yang terjadi? Indonesia gelap dinyatakan pemerintah sebagai Indonesia terang dan baik-baik saja—mendelegitimasi kenyataan versi masyarakat sipil kritis. Namun disudut sudut tanah air gelap gempita adalah kenyataan: kerusakan ekologi, pengangguran, kemiskinan, korupsi, dan setarusnya yang tak lain tak bukan adalah pembentuk keadaan darurat.
Setelah 30 tahun reformasi, idealisme kian tercerabut. Satu demi satu dibunuh. Negara kian merasa super power dan bebas. Belajar dari Agus Sudibyo, barangkali kondisi ini adalah apa yang disebut sebagai kekuasaan-berdaulat yaitu seperti Leviathan yang kuat tidak tertandingi dengan kekuasaan apa pun dan tidak terikat oleh mekanisme apa pun, menginfiltrasi demokrasi melalui normalisasi krisis dan keadaan darurat. Atau sebaliknya demi kelanggengan kekuasaan.
“…penyelenggaraan status darurat yang bukan hanya fenomena dalam keadaan perang atau krisis keamanan, melainkan juga fenomena dalam situasi normal tatanan kenegaraan (Saur Hutabarat, 2019). Politisasi keadaan normal menjadi darurat adalah teknikalisasi kekuasaan yang penting dan sering dimanfaatkan rezim ekonomi politik ekstraktif. Misalnya: “jika pandemi semakin parah maka buat kebijakan tunda pemilu, tidak diadakan pemilu, atau perpanjang masa jabatan presiden”. Lalu, jika pandemi meluas maka dibuatlah aturan untuk menormalkan tindakan otoriter dan korupsi”. Itu adalah Sebagian kecil cerita yang pernah ada di republik ini juga dan di luar sana. Jasmerah!
Aktor negara yang tak kenal daulat alam, hanya kenal daulat kekuasaan manusia maka terciptalah keadaan berikut ini: “Tidak ada lagi perbedaan antara keadaan krisis dan keadaan normal, antara keberadaan hukum dan kekosongan hukum, antara tatanan dan ketiadaan tatanan.” Bahkan, hukum dibuat untuk menyatakan tindakan keliru menjadi benar. Hukum dipakai untuk merepresi dan membalikkan status obyektif normal menjadi darurat dan sebaliknya.
Krisis dan Zona Penumbalan
Keadaan normal didaruratkan atau keadaan darurat dinormalkan sama sama beresiko buruk bagi kelompok rentan di dalam negara yang diklaim demokrasi. Pelajaran dari pandemi covid, krisis lingkungan, korupsi, dsb akan memakan korban warga yang paling lemah. Politik pendaruratan dan penormalan sama sama menjadi zona homo sacer, zona penumpalan. Misal: penambangan di pulau kecil aman karena tidak ada penduduk. Seolah benar tapi cara kerja ekosistem tidak bisa diadministrasikan ke dalam pulau tanpa penghuni apalagi ada penghuninya. Ingat web of life, baca buku Fritjof Capra dan buku pelajaran biologi. Kita butuh listrik sehingga penambangan batu bara dibolehkan merusak kehidupan sebagai konsekuensi. Lalu politik kompensasi sebagai new normal. Seolah semua persoalan konflik agraria dapat diselesikan dengan membayar ganti rugi atau ‘ganti untung’ yang rugi.
Koalisi besar di parlemen pasca pemilu bukan hanya mengkooptasi masyarakat sipil tapi juga hilangnya nalar obyektif melihat kesengsaraan sosio-ekologis. Nilai-nilai luhur sosialisme dikhianati begitu pun mungkin tak percaya akan nilai nilai ekososialisme yang notabene inline dengan nilai keluhuran Pancasila itu sendiri. Koalisi besar kadang sering membuat jantung republik berdebar karena jika salah asuh atas sumber daya alam maka kutukan besar akan juga menunggu korban lebih luas.
Meski ini negara hukum dan demokrasi dianggap penting dalam formalitas demokrasi namu demokrasi subtansial sering dikorbankan. Kepentingan publik menumbalkan kepentingan komunitas (zona pengorbanan) dalam lingkar kutukan sumber daya alam. Keragaman aktor diseragamkan dengan mengkooptasi agensi agensi kritis di pentas politik advokatif. IUP tambang ormas menjadi legasi Jokowi Widodo yang terang bagi kita bagaimana gerak normalisasi krisis lingkungan adalah faktual berdalih kemaslahatan. Pelibatan ornas tambang ini dimantrai oleh Jokowi diamini oleh ulama. Tentu tidak semua di shaf yang sama.
Kini demokrasi dalam arti luas tak lagi dibayangkan sebagai proses check and balances tapi check and check (perihal ‘duit-able‘). Mungkin demokrasi kini adalah soal bagi-bagi hasil perampasan sumber daya alam dari entitas aslinya, dari korban masyarakat lokal dan pemangku nilai adat. Mengorbankan orang dan lingkungan adalah new normal dari negara demokrasi yang ingin maju. Begitulah nalar wahabi tambang.
Maka, boleh dikata Giorgio Agamben sangat membantu kita semua menemukenali apa, siapa, bagaimana keadaan Republik dewasa ini. Militerasi dalam semua aspek kehidupan kini adalah gelombang normalisasi baru yang tidak sedikit pendukungnya baik diam diam atau secara hiruk pikuk. Anti dwi fungsi TNI disebut sebagai kelompok yang tak mau melihat bangsa ini jadi bangsa besar.
Terlalu lantang bicara HAM di Indonesia bisa di-bully dan jadi bulan-bulanan buzzer sementara pelembagaan HAM dan anti korupsi justru hanya menjadi legitimasi atas tindakan anti-HAM dan pelaku KKN. Tentu saja banyak paradoknya kondisi hari ini. Ada atau tidaknya pelembagaan menjadi tipis daya ubahnya. Contohnya: adanya Kementerian Lingkungan Hidup apakah lingkungan akan terlindungi? justru izin-izin lingkungan menjadi persoalan bagi perjuangan keadilan iklim dan menjadi penghambat bagi keadilan sosio-ekologis.
Hak-hak warga diabaikan oleh PSN adalah hal penting yang mesti dibicarakan. Tak ada keadaan genting tak ada darurat pangan atau listrik tapi praktik politik eksklusi demikian massif dalam ambisi proyek strategis nasional. Yang melawan direpresi, yang mendukung dikompensasi atas klaim ganti untung. Lagi dan lagi pnyelenggaraan kekuasaan berjalan dengan logika status darurat terus memakan korban: mengakui status kewarganegaraan, sekaligus mengabaikan hak perlindungan dari negara.
Paradoks terinklusi dan tereksklusi itulah yang menjelaskan realitas diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok di area terdampak tambang. Warga negara itu sah, bahkan mereka membayar pajak dan mematuhi hukum yang berlaku, tapi lihat di area PSN dan tambang itu, mereka begitu sengsara dan berat menghadapi situasi yang dipaksa normal: “kekerasan aparat adalah normal. Mereka diperintah oleh hukum”
Sayang, kepatuhan dan ketaatan rakyat itu seperti cinta bertepuk sebelah tangan. Nasionalismenya tak dapat dibalas negara dengan memberikan perlindungan bagi rakyat baik material maupun spiritual. Hal ini terekspresi dalam balada Raja Ampat: “kami sayang republik, tapi republik tidak sayang kita”
Dalam banyak situasi yang krisis lingkungan negara berdiri di tengah atau netral sehingga keadaan tak berubah: “bencana banjir akibat deforestasi disebut karena cuaca ekstrem”
Kemelaratan dan dampak pertambangan dibagi meluas, tapi keuntungan hanya mengalir ke segelintir pihak dianggap sebagai hal yang biasa dan normal.
Kondisi timpang di atas tak serta-merta menghadirkan praktik hukum yang menjaga kesetaraan, keadilan, sebagai pelindungan warga dari kekerasan siapapun. Kejahatan lingkungan nyaris bebas di republik yang kadang gampang malabeli status darurat.
Otak-atik pulau seperti tak ada kerjaan yang lebih bermakna adalah ibarat menggaruk bagian tubuh yang tidak gatal. Tak ada yang darurat pindah pindah administrasi pulau. Kecuali memang sedang menjalankan program perintah sang majikan. Yang normal didaruratkan yang darurat di normalisasi. Gelap gempita kalau modus operandinya hanyalah ingin membongkar isi perut bumi.
Jadi, jika yang krisis itu lapangan kerja, yang krisis adalah lingkungan pesisir dan laut, yang krisis adalah kesehatan, mengapa yang dinaikkan PPN, yang dipindahkan pulau-pulau secara administratif, yang diperpanjang jabatan, sehingga ini dapat dianalogikan dengan menggaruk bagian tubuh yang tidak gatal.
Gelap bukannya tak ada PLN, tetapi gelap adalah karena ketiadaan keadilan. Di sinilah status darurat harus mendapatkan perlakukaan adil dan obyektif.