29.1 C
Malang
Selasa, April 15, 2025
KilasMengapa Menggunakan Istilah '7 Kebiasaan'? Ini Penjelasan Mendikdasmen

Mengapa Menggunakan Istilah ‘7 Kebiasaan’? Ini Penjelasan Mendikdasmen

Mendikdasmen RI, Abdul Mu'ti, menyampaikan samutan dan arahan dalam Peluncuran Buku Panduan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat pada giat Pagi Ceria di SMP Negeri 41 Jakarta, Jumat (11/4/2025). (Foto: Humas Kemendikdasmen)
Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti, menyampaikan samutan dan arahan dalam Peluncuran Buku Panduan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat pada giat Pagi Ceria di SMP Negeri 41 Jakarta, Jumat (11/4/2025). (Foto: Humas Kemendikdasmen)

MAKLUMAT — Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd, menjelaskan alasannya menggunakan istilah ‘7 kebiasaan’ dalam Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (KAIH) yang tengah digalakkan sebagai upaya pendidikan karakter untuk membentuk generasi emas Indonesia.

Dalam giat Pagi Ceria sekaligus Peluncuran Buku Panduan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat di SMP Negeri 41 Jakarta pada Jumat (11/4/2025), Mu’ti menyebut bahwa kebiasaan adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus (berkelanjutan).

Menurutnya, suatu kegiatan untuk membentuk kebiasaan tidak harus berupa kegiatan-kegiatan yang besar atau berat, tetapi bisa melalui kegiatan-kegiatan yang ringan dan sederhana.

“Kebiasaan itu habitual process, proses yang kita laksanakan secara terus-menerus, continuous activities. Kegiatan yang kita laksanakan secara terus-menerus, kontinyu, yang itu tidak harus kegiatan yang berat, kegiatan yang bisa sangat ringan, tetapi kita laksanakan dengan rutin,” ujar Mu’ti dalam sambutannya.

How to Change Our Habit?

Mu’ti menerangkan, berdasarkan teori perubahan dan pembentukan perilaku dalam teori behaviorisme, terdapat tiga strategi untuk membentuk perubahan, yakni teori fatigue (lelah), teori threshold (titik awal), serta teori incompatible stimuli (stimulus tidak kompatibel).

How we can change our habit? Pertama, teori fatigue, pokoknya dipaksa berubah, mau tidak mau harus berubah. Analoginya seperti seorang joki, penunggang kuda itu melatih kuda liar menjadi kuda balap, dipaksa saja naik di punggung kuda itu, walaupun melonjak-lonjak, tapi terus saja dinaiki, lama-lama akan menjadi kuda yang jinak dan menjadi kuda balap yang hebat,” jelasnya.

Kedua, teori threshold atau titik awal. Menurut Mu’ti, dalam teori ini untuk bisa mengubah kebiasaan dianalogikan bahwa kuda liar yang tidak pernah membawa beban ditalih dengan diberi beban ringan terlebih dahulu dan ditambahkan secara bertahap.

“Mungkin 5 kg dulu, kalau oke dinaikkan menjadi 6 kg, dan seterusnya sampai beban itu seukuran beban manusia. Dan kalau itu sudah terjadi, berarti sudah terbentuk kebiasaan yang baru,” tandasnya.

“Ketiga, incompatible stimuli, pokoknya dipaksa, tidak bisa melawan sama sekali, tidak bisa ada pilihan lain, there is no other option, nggak ada pilihan lain, dan dengan cara seperti itu, maka dia akan berubah,” tambah pria yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sebab itu, Mu’ti menegaskan bahwa pendekatan yang dipilih untuk bisa membentuk kebiasaan anak-anak Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan threshold, dibanding kedua pendekatan teori yang lain.

“Nah, kita tidak memilih pendekatan fatigue ataupun incompatible stimuli, tapi kita memilih pendekatan threshold. Melakukan perubahan besar dengan langkah-langkah kecil yang rutin kita laksanakan,” tegasnya.

Memulai dari Langkah Kecil

Lebih lanjut, Mu’ti menekankan bahwa banyak hal besar dimulai dari sebuah langkah kecil, bahkan dari hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang sangat sederhana. “Kebiasaan yang paling mungkin untuk kita lakukan,” sebutnya.

“Anda mungkin lupa mengagumi lukisan-lukisan yang hebat, tapi anda begitu melihat bagaimana lukisan itu dibuat, anda baru sadar bahwa lukisan itu dimulai dari titik-titik yang dihimpun, garis-garis yang bersambung. Begitu garis itu kehilangan satu titik saja, maka garis itu menjadi terputus,” imbuh Mu’ti.

Artinya, kata dia, sebuah titik kecil tersebut menjadi penentu bagaimana suatu perubahan besar dapat terjadi. Sebuah titik itu bisa menjadi penentu bagaimana hal-hal besar akan tercipta dimulai dari hal-hal yang sangat kecil.

“Inilah kenapa kemudian kita perlu melakukan kebiasaan yang dimulai dari pembiasaan,” tandas pria yang juga mengemban amanah sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu.

Dalam bahasa psikologi, lanjut Mu’ti, pembiasaan diistilahkan sebagai conditioning, yakni untuk menciptakan lingkungan, menciptakan situasi yang memungkinkan seseorang untuk berubah.

Kenapa 7 Kebiasaan?

Tak hanya itu, Mu’ti juga menjelaskan alasannya mengapa memilih hanya tujuh kebiasaan, bukan delapan atau mungkin 10. Dalam psikologi, menurut dia, terdapat teori yang dinamakan sebagai the magical number seven.

“Dalam teori itu disebutkan bahwa orang itu mengingat sesuatu dengan baik itu seven plus/minus two, (yaitu) tujuh ditambah dua atau dikurangi dua. Kalau kita mengingat sesuatu dalam rentang lima sampai sembilan, maka itu akan bisa kita ingat dengan mudah” ungkapnya.

Sebab itu, ia menyebut bahwa tujuh adalah pilihan yang sangat logis. Menurutnya, angka tujuh juga adalah passing grade dalam sistem penilaian.

“Pilihan angka tujuh adalah pilihan yang menjadi pembatas antara orang yang masuk kategori baik (di atas tujuh) dan orang yang masuk kategori tidak baik (di bawah tujuh),” tandas Mu’ti.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer