23.3 C
Malang
Jumat, Desember 27, 2024

Ekonom UM Surabaya Jelaskan Dampak Kenaikan PPN 12% Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kenaikan pajak berpotensi memukul perekonomian dalam negeri, meski pemerintah menaikkan upah kerja rata-rata 6,5 persen.
OpiniMenimbang Untung dan Rugi Pilkada oleh DPRD

Menimbang Untung dan Rugi Pilkada oleh DPRD

Pemilihan Umum (Pemilu). (Ilustrasi: Pixabay)
Pemilihan Umum (Pemilu). (Ilustrasi:Pixabay)

MAKLUMAT – Usai gelaran Pilkada Serentak 2024, menyisakan wacana, Presiden Prabowo Subianto, seolah mengamplifikasi ide yang pernah dilontarkan beberapa politisi sebelumnya, mengenai perubahan sistem Pilkada Gubernur, Bupati, Walikota dari dipilih langsung rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD Provinsi, atau Kabupaten/Kota.

Penulis: Makroen Sanjaya. (Foto:tvMu)
Penulis: Makroen Sanjaya. *) (Foto:tvMu)

Hal itu disampaikan Presiden Prabowo pada saat memberi sambutan pada acara ulangtahun ke-60 Partai Golkar pekan lalu. Sebelum Presiden Prabowo melontarkan wacana Pilkada oleh DPRD, sejatinya sudah ada pihak lain, yang mewacanakan ide tersebut, yaitu Politisi PKB Jazilul Fawaid, dan Partai Golkar, seperti yang dinyatakan Ketua Umumnya, Bahlil Lahadalia.

Guna memperkuat argumentasi mengenai ide Pilkada melalui DPRD tersebut, Presiden Prabowo setidaknya mengajukan tiga alasan.

Pertama, sistem Pilkada langsung, terlalu boros, karena menghabiskan anggaran negara hingga triliunan rupiah. Anggaran triliunan rupiah itu, semestinya bisa dialihkan untuk pembiayaan bagi kebutuhan lain yang lebih mendesak. Kedua, sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD, juga dapat mempercepat proses transisi kepemimpinan daerah, seperti halnya yang terjadi di negara tetangga, yakni Singapura dan Malaysia. Ketiga, Pilkada langsung menyebabkan tekanan psikologis, yaitu mengalami kelesuan, baik bagi yang menang, apalagi yang kalah.

Wacana Pilkada oleh DPRD ini, tentu saja memicu kontroversi. Ada yang mengamini, terutama dari kalangan partai politik, yang merasa di atas angin, dalam panggung politik kontemporer. Tetapi ada yang serta-merta menolaknya, sejak pagi buta.

Mereka yang setuju yakin, Pilkada oleh DPRD, selain peduli dengan anggaran, juga mencegah poitik uang, dan mengurangi friksi di kalangan masyarakat akibat beda pilihan.

Tetapi pihak yang tidak setuju, terutama dari kalangan masyarakat sipil, langsung menolaknya. Mereka yang tidak setuju, pada intinya khawatir, apabila Pilkada diubah dari sistem langsung menjadi melalui DPRD, selain meniadakan hak politik rakyat, juga menyebabkan dominasi partai politik, terulang kembali.

Di alam demokrasi sekarang ini, sah saja, setiap orang, bebas dan berhak melontarkan ide, dan gagasannya. Bebas dan berhak pula, setiap orang menyatakan setuju, atau tidak setuju atas ide dan gagasan yang dilontarkan pihak lain. Karena itu, ide, gagasan, atau tepatnya usulan Pilkada oleh DPRD, yang telah diwacanakan itu, tidak boleh serta-merta ditolak, atau dimatikan, sepanjang tujuannya untuk mencari formula terbaik, bagi tatanan demokrasi indonesia. Apalagi, dalam hal pilihan pada sistem politik, sejatinya kita masih dalam taraf transisional, atau sedang belajar berdemokrasi, dalam rangka mencari bentuk demokrasi yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, yang pruralis, terjadinya kesenjangan ekstrem, sekaligus serba-paradoksal dalam berbagai aspek ini.

Tidak Ada Sistem Politik yang Sempurna

Di seluruh dunia, dalam sistem politik apa pun, tidak ada yang sempurna, dan selalu mengandung dua sisi sekaligus, yaitu kelebihan dan kekurangan, sesuai dengan kondisi, tuntutan sekaligus tantangan masyarakat di suatu negara.

Satu sistem yang dianggap sesuai pada suatu negara, belum tentu cocok jika diterapkan di negara lain, kendati letak geografis, geo-strategis, kultur, serta paham ideologis, hampir sama, antar-negara. Contohnya, sistem politik antarnegara serumpun melayu, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, jelas berbeda satu sama lain.

Indonesia menganut sistem Republik, dengan demokrasi langsung. Malaysia dan Brunei Darussalam, menganut sistem monarki, di mana Malaysia menggunakan sistem monarki konstitusional, sedangkan Brunei Darussalam sistem monarki absolut.

Bahkan, kendati sesama negara yang menganut sistem monarki, dan serumpun melayu yang sangat mirip dalam hal bahasa, dan budaya, Malaysia dan Brunei Darusalam, sistem demokrasinya pun berbeda satu sama lain.

Perlu Kajian Mendalam

Sekali lagi, setiap pilihan sistem politik, khususnya dalam aspek rekrutmen pemimpin negara, mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden sekalipun, ada plus-minusnya. Tugas kita adalah mencari sistem yang dianggap paling sesuai.

Secara filosofis, ide atas sistem Pilkada oleh DPRD merupakan tesis, yang pasti berhadapan dengan antitesis, dari pihak yang tidak setuju. Tetapi kita yakin, dalam dialektika atas pilihan sistem rekrutmen kepala daerah ini, pasti akan ditemukan sintesisnya, sebagai jalan keluar, yakni pilihan sistem yang setidaknya, mendekati kecocokan.

Kita hanya mengingat, agar dalam memilih sistem rekrutmen pemimpin, tetap harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan bangsa. Apa pun itu, perlu kajian mendalam, dan rembukan nasional, tanpa ada pihak yang memaksakan kehendaknya sendiri, tidak boleh tidak peduli aspirasi dan suara pihak lain.

Apapun pilihannya, semua pihak harus diuntungkan win-and-win, bukan win-and-lose, kendati secara alamiah, setiap keputusan atas pilihan, tidak mungkin memuaskan semua pihak. Tetapi sekurangnya, tidak ada tirani antarpihak. Pihak mayoritas yang aspirasinya merasa “dimenangkan” tidak perlu menafikkan pihak minoritas yang kalah-suara. Begitu sebaliknya. Ingatlah, Indonesia adalah rumah besar bagi segenap elemen anak bangsa, tanpa memandang asal-usul, suku, agama, dan golongan tertentu.

________________________

*) Penulis adalah Direktur tvMu. Artikel ini sudah pernah tayang dan dimuat dengan judul “Untung-Rugi Pilkada oleh DPRD” di kanal tvMu

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer